Rabu, 14 Maret 2012

Ilmu dan Paradigma Ilmu Agama


ILMU DAN PARADIGMA ILMU-ILMU AGAMA
OLEH :SUYONO
Abstarct:
            Hakikat batin berhubungan dengan esensi dan sumber. Bilamana hakikat batin mendatangi sember, maka terjadilah kesatuan. Bilamana orang bergerak menjauhi sumber cahaya, maka ia membeda-bedakan dan melihat berbagai bayangan-bayangan yang berbeda dan samar serta profilnya yang berbeda-beda.
            “Aku mengetahui Tuhan melalui Tuhan, bukan melalui Agama, jika sekiranya tidak karena Tuhan, Aku tidak akan tahu kepada-Nya”.
            “Aku mengetahui Tuhan melalui diriku sehingga aku hancur, Kemudian aku mengetahui Tuhan melalui diri-Nya dan akupun hidup”[1].

Kata Kunci: Ilmu, Paradigma dan Ilmu Agama
I.                   Pendahuluan
Dewasa ini terdapat perhatian yang cukup besar terhadap ilmu. Perkembangan cepat yang dialami oleh banyak ilmu serta pengaruhnya yang semakin besar terhadap kehidupan masyarakat, memaksa kita untuk mempelajari metode-metode berbagai cabang ilmu. Dalam banyak jurusan fakultas, telah diajarkan metodologi mata pelajaran kejuruan masing-masing. Disamping  itu, diperlukan metodoligi ilmu pada umumnya, yang didalamnya sekaligus diperhatikan perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara masing-masing ilmu.

Dalam hal ini, dari berbagai macam ilmu-ilmu dalam kehidupan bermasyarakat, ada sebuah komponen disiplin ilmu yang sangat esensial, tidak dapat disangkal bahwasanya ilmu Agama merupakan sebuah disiplin ilmu yang sangat penting untuk di kaji dan dipelajari lebih mendalam. Maka dari itu, dengan memperhatikan hal tersebut, salah satu sasaran pendidikan yang sangat penting adalah pembentukan suatu sikap sebagai suatu kebutuhan untuk selalu dengan usaha sendiri menambah dan memperkaya ilmu dan pengalamannya, menggali sumber-sumber yang tersedia dari berbagai referensi dan literatur yang ada. Khususnya pada ilmu Agama, yang pada akhirnya harus membawa pada penghayatan dan pengamalan nilai-nilai yang diajarkan, sasaran pendidikan tersebut haruslah benar-benar tercapai.
II.                Pembahasan
a.      Definisi Ilmu
Sesungguhnya ilmu timbul berdasarkan atas hasil penyaringan, pengaturan, kuantifikasi, obyektivasi, atau singkatnya berasal atas hasil pengolahan secara metodologi terhadap arus bahan-bahan pengalaman yang dapat dikumpulkan[2] . Salah satu corak pengetahuan ialah pengetahuan yang ilmiah, yang lazim disebut dengan ilmu pengetahuan, atau singkatnya ilmu, yang ekwivalen artinya dengan science dalam bahasa Inggris dan Prancis, Wisshenchaft (Jerman) dan Wetenschap (Belanda)[3].
Sebagaimana science berasal dari kata Scio, Scire (dalam Bahasa Latin) yang berarti tahu. begitupun Ilmu  berasal dari kata ‘Alima (Bahasa Arab) yang juga berati tahu. Jadi, baik ilmu maupun science secara etimologis berarti pengetahuan. Namun secara terminologis ilmu dan science itu  semacam pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan syarat-syarat yang khas[4].
Ada beberapa definisi ilmu yang diungkapkan oleh beberapa ahli, yaitu antara lain: Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag  menulis “ Science is empirical,rational,general and cumulative; and it is all four at once”. ( Ilmu ialah yang empiris, yang rasional, yang umum dan bertimbun-bersusun; dan keempat-empatnya serentak)[5].
Mohammad Hatta  menulis, “ Tiap-tiap ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam satu golongan masalah yang sama tabiatnya, mapun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunnya dari dalam[6].
Karl Pearson (1857-1936),  merumuskan “ Science is the complete and consistent discription of the facts of experience in the simplest possible terms”( Ilmu pegetahuan ialah lukisan atau keterangan yang lengkapdan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sesederhana/ sesedikit mungkin)[7].
b.      Obyek Ilmu
Setiap ilmu pengetahuan ditentukan oleh obyeknya. Ada dua macam obyek ilmu pengetahuan, yaitu : Obyek Materia dan Obyek Forma. Obyek Materia ialah seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan obyek penyelidikan suatu ilmu.  Obyek Forma ialah obyek materia yang disoroti oleh suatu ilmu, sehingga membedakan ilmu yang satu dari ilmu lainnya, jika berobyek materia sama[8].
Pada garis besarnya obyek ilmu pengetahuan adalam Alam dan Manusia. oleh karena itu ada sebagian ahli yang membagi ilmu pengetahuan atas dua bagian besar, yaitu Ilmu Pengetahuan Alam  dan  Ilmu Pengetahuan Manusia. Seperti Misalnya  Wilhelm Dilthey (1833-1911) seorang filsuf bangsa Jerman, membagi ilmu pengetahuan atas dua bagian, Natur Wissenchaft dan Geites Wissenchaft[9].
Jadi, yang membedakan suatu ilmu dan ilmu lainnya adalah obyeknya. Apabila kebetulan sama obyek materianya, maka yang terutama membedakan satu ilmu dari ilmu yang lainnya ialah obyek formanya, yaitu sudut pandang tertentu yang menentukan macam ilmu.

c.       Paradigma Ilmu-Ilmu Agama
Kata Agama mungkin bukan barang asing untuk kita dengar, hampir setiap waktu kita selalu mendengar kata tersebut, sehingga dapat disimpulkan secara sederhana, yaitu bahwa dalam arti teknis : Religion (Bahasa Inggris), Religie (Belanda), Din (Bahasa Arab) dan Agama (dalam Bahasa Indonesia)[10].
Tidak ada satu definisi tentang Religion yang dapat diterima secara umum. Para Failasuf, Sosiolog, Psikolog dan para Teolog telah memformulasikan definisi tentang Agama menurut caranya masing-masing. Sebagian Filsuf beranggapan bahwa Religion itu adalah”Supertitious structure of incoherent methapisical nations”. sebagian ahli Sosiologi lebih senang menyebut Religion sebagai “Collective expression of human values”. para pengikut Karl Mark mendefinisikan Religion dengan “The Opiate of the people”.  sementara Psikolog menyimpulkan bahwa Religion itu adalah “ Mystical complex surrounding a projected super-ego”[11].
Di dalam Al-Munjid dapat kita temukan keterangan tentang arti  Din sebagai berikut : Ad-Din (Jama’ Adyan): 1. Al-Jaza Wal –Mukafaah; 2. Al-Qodha; 3. Al-Malik-Al-Muluk Wa s-Sulthan; 4. At-Tadbir; 5. Al-Hisab. Artinya (1. Pahala, 2. Ketentuan, 3. Kekuasaan, 4. Pengelolaan, 5. Perhitungan)[12]
Sepanjang hemat kita adalah perkataan Agama itu kata majemu’ dari bahasa Sansekerta, yang terdiri dari dua perkataan, yang pertama A dan Gama. A artinya Tidak, Gama artinya Kocar-kacir atau Berantakan. Jadi arti Agama adalah tidak Kocar-kacir atau Tidak Berantakan[13].
Agama dalam pengertiannya dapat dikelompokkan pada dua bahagian yaitu Agama menurut bahasa dan Agama menurut istilah. Beberapa persamaan arti kata“Agama’’ dalam berbagai bahasa :
1.      Ad din (Bahasa Arab dan Semit)
2.      Religion (Inggris)
3.      La religion (Perancis)
4.      De religie (Belanda)
5.      Die religion (Jerman)
Secara bahasa, perkataan ‘’Agama’’ berasal dari bahasa Sangsekerta yang erat hubungannya dengan Agama Hindu dan Budha yang berarti ‘’tidak pergi’’tetap di tempat, diwarisi turun temurun’’. Adapun kata din mengandung arti menguasai, menundukkan, kepatuhan, balasan atau kebisaaan.
Din juga membawa peraturan-peraturan berupa hukum-hukum yang harus dipatuhi baik dalam bentuk perintah yang wajib dilaksanakan maupun berupa larangan yang harus ditinggalkan.
Agama menurut istilah adalah undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengikat manusia dalam hubungannya dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam. Maka orang yang beragama adalah orang yang teratur, orang yang tenteram dan orang yang damai baik dengan dirinya maupun dengan orang lain dari segala aspek kehidupannya.
Sebuah Agama bisaanya melingkupi tiga persoalan pokok, yaitu :
1.      Keyakinan (credial), yaitu keyakinan akan adanya sesuatu kekuatan supranatural yang diyakini mengatur dan mencipta alam.
2.      Peribadatan (ritual), yaitu tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan kekuatan supranatural tersebut sebagai konsekuensi atau pengakuan dan ketundukannya.
3.      Sistem nilai yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya atau alam semesta yang dikaitkan dengan keyakinan nya tersebut.
Para ilmuan social juga mengajukan definisi yang berbeda-beda tentang agama, tergantung dari mana mereka melihatnya. Namun, pada awal mulanya hanya dapat dibedakan dalam dua pendekatan. Pertama, pendekatan Subtantif, dan kedua, pendekatan Fungsional. Penkekatan pertama dimulai dengan mencoba  mempertanyakan apakah agama itu. Sedangkan yang kedua memuali dengan pertanyaan apakah fungsi social dan psikologis agama, baik bagi individu maupun kelompok social. Dengan menggunakan pendekatan pertama, sekaligus dapat dibedakan mana yang agama dan mana yang bukan agama. Definisi substantif biasanya mencakupmankan dan kompliks makna yang dikaitkan dengan wujud-wujud teansenden dalam arti konvensional, seperti ritus atau bentuk hubungan manusia dengan Tuhan, atau kekuatan adikodrati.
Agama yang pada hakekatnya adalah keyakinan akan adanya Tuhan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, maka sangat perlu dipahami secaraseksama oleh setiap manusia.Dalam uraian ini akan kemukakan pengertian Agama, hubungan Agama dengan manusia, manfa’at Agama, klasifikasi Agama, dan Agama Islam.
Eksistensi agama sebagai salah satu kebutuhan spiritual manusia secara historis banyak mendapat perhatian, baik dalam kalangan insider maupun outsider. Agama mengandung unsur kepercayaan. Tetapi kepercayaan, belum tentu dalam bingkai agama. Islam misalnya sebagai salah satu agama besar di dunia, akhir-akhir ini tidak lepas dari sorotan tajam dan kritis di kalangan para ahli. Mereka bertolak dari kesadaran bahwa menyingkap ajaran Islam, memahami lebih dalam komunitas pemeluknya, atau aspek-aspek lain yang sedemikian komplek, jelas membutuhkan perhatian yang fokus dengan pendekatan atau metode analisis secara ilmiah.
 Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW diyakini akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik lahir dan batin, tidak diragukan lagi sebagai agama fitrah, yakni agama yang cocok dengan potensi dasar manusia. Konstitusinya dapat diterima akal sehat, hidayahnya menyinari hati, sendi keimanannya adalah kedalaman pengkajian. Inilah agama yang toleran, fleksibel dan cocok untuk segala masa, situasi dan kondisi. Syari’atnya mampu mengatur masyarakat.[14] Persamaan dan penghormatannya terhadap hak asasi yang terkandung dalam ajarannya,  mempersatukan manusia, mengayomi serta melindungi setiap jiwa manusia, sehingga tenteram menuju kehidupan kedua yang penuh kenikmatan, sesuai amal baik yang dilakukannya. Semuanya itulah yang menjadikan Islam dekat dan lekat dengat tabiat atau fitrah manusia, sehingga manusia merasa rela menjadikannya sebagai agama, cahaya yang dijadikan penerang kehidupannya, serta sebagai tirai pelindung pemberi ketenteraman jiwa, bila keraguan melanda.
Al-Qur’an dan Hadits selain sebagai sumber hukum, juga mengandung ajaran-ajaran yang sarat dengan petunjuk-petunjuk yang ideal dan agung, seimbang dan memenuhi kebutuhan material dan spiritual. Gambaran Islam yang ideal tersebut, telah terbukti dalam sejarah yaitu sekitar tahun 650-1250 M., yang menurut Harun Nasution (1985) dalam Sejarah Peradaban Islam disebut sebagai zaman klasik.[15]  Umat Islam saat itu membuktikan dengan jelas misi kemanusiaan dari ajaran Islam yang dimaksud. Pada masa itu, Islam telah memberikan rahmat dalam bidang ilmu pengetahuan, kemakmuran, peradaban, dan sebagainya.
Saat ini dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya metodologi-metodologi ilmu, filsafat, pengetahuan mistik, ilmu sosial, sejarah beserta berbagai macam pendekatan dan pemahamannya yang bercorak historis-empiris terhadap perkembangan pemikiran manusia, secara relatif  telah membuka wacana baru dalam diskursus pemikiran agama. Studi agama kontemporer misalnya apabila dilihat dari bilik fenomena keberagamaan manusia tidak lagi hanya dapat dikaji lewat pendekatan monolitis, tetapi juga dikaji secara multidimensi. Ia juga tidak hanya diklaim oleh pandangan teologis-normatif tetapi juga diklaim oleh pandangan historis-empiris. Tidak terkecuali dalam hal ini studi Islam (Islamic studies).
Studi Islam sangat diminati dan berkembang baik di negara-negara Islam maupun bukan negara Islam. Di negara-negara (dunia) Islam, studi Islam misalnya terdapat di Mesir, Arab Saudi, dan Iran. Sedangkan di negara-negara non Islam diselenggarakan di beberapa negara seperti India, Amerika Serikat (Chicago, Los Angeles), Inggris (London) dan Kanada. Sementara di Indonesia studi Islam masih terbatas di perguruan-perguruan tinggi agama.[16]
Sehubungan dengan hal ini, M. Amin Abdullah mengatakan bahwa agama memiliki banyak wajah (multifaces) dan tidak seperti dahulu orang memahaminya, yakni hanya semata-mata terkait dengan masalah ketuhanan, kepercayaan, kredo, pedoman hidup, dan seterusnya tetapi agama kenyataannya juga memiliki keterkaitan yang erat dengan persoalan historis-kultural,[17] yaitu terkait dengan dimensi ruang, waktu, dan sejarah peradaban manusia itu sendiri yang terus mengalami perubahan dan perkembangan. Agama juga tidak lagi terbatas pada ajaran dogmatis yang harus dipatuhi dan dijalankan, tetapi ia juga perlu untuk dianalisa, diteliti, dikaji dan diuji secara logis-empiris sebelum benar-benar dilaksanakan oleh penganutnya.
Ilmu agama-agama (The Science of Religions) dalam tradisi keilmuan yang bersifat historis-empiris mempunyai berbagai nama yang beragam. Antara lain, Comparative Religions, The Scientific Study of Religion, Allgemeine Religiongeschichte, Religionwissenschaft, Phenomenology of  Religions, History of Religions, dan sebagainya. Dalam studi agama-agama dengan wilayah telaah yang ditujukan pada fenomena kehidupan beragama manusia pada umumnya, biasanya didekati lewat berbagai disiplin keilmuan yang bersifat historis-empiris (bukan doktrinal-normatif). Maka muncullah cabang-cabang keilmuan agama seperti Sejarah Agama (History of Religion), Psikologi Agama (Psychology of Religion), Antropologi Agama (Anthropology of Religion), dan lain-lain.[18]
Di dalam Islam indikasi ke arah pentingnya pengkajian kebenaran norma agama tampak ditandai dengan pentingnya peran penggunaan akal dalam beragama. Hal tersebut tercermin dari banyaknya ayat al-Qur’an yang menyeru untuk mempergunakan akal untuk berfikir, merenung serta berkontemplasi untuk menemukan kebenaran-kebenaran hakiki.
Sampai di sini, tersirat bahwa kajian tentang agama memiliki ruang lingkup yang sangat luas dan komplek. Untuk memahaminya diperlukan studi ilmiah yang fokus dan benar-benar komprehensif. Demikian lebarnya ruang lingkup yang dicakupi agama, menurut Charles J. Adams, diibaratkan suatu hutan yang dipenuhi dengan aneka ragam hayati, sehingga sangat kaya nuansa.[19]  Ia tidak hanya terdiri dari beberapa varian saja tetapi juga terkait dengan varian-varian lain yang membentuk sebuah ‘gugusan’ agama. Yang dengan begitu, untuk memahaminya secara lebih holistik diperlukan perangkat yang komprehensif dengan aneka pendekatan kajian agama (multi dan interdisipliner). Diantara aneka pendekatan tersebut adalah pendekatan teologis normatif, antropologis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan dan pendekatan filosofis.
Aneka pendekatan dalam kajian (study) agama ini telah memiliki paradigmanya sendiri dalam membahas tentang suatu agama. Masing-masing berdiri sendiri untuk mencoba mengkaji agama. Pendekatan teologis normatif misalnya merupakan sebuah upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ke-Tuhan-an yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan lainnya[20]. Sedangkan pendekatan antropologis mencoba memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan seterusnya.[21]
Sedangkan pendekatan filosofis, yang akan penulis bahas dalam makalah ini, adalah merupakan upaya untuk memahami agama dengan cara berfikir secara lebih mendalam, sistematis, radikal dan universal. Usaha ini dimaksudkan agar hikmah, hakikat, atau inti dari ajaran agama tersebut dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Adapun menurut Muhaimain dkk. (2005) pendekatan filosofis yang dimaksudkan adalah melihat suatu permasalahan dari sudut tinjauan filsafat dan berusaha untuk menjawab dan memecahkan permasalahan itu dengan menggunakan motode analisis spekulatif[22]. Tulisan ini tidak akan membahas tentang studi agama secara keseluruhan, tetapi penulis batasi pada studi Islam (Islamic Studies) dalam kerangka pendekatan filosofis.
III.             Penutup
Ilmu membuat orang berfikir cerdas tentang berbagai aspek kehidupan. Dalam aspek kehidupan pula, orientasi keagamaan tampak berpengaruh pula terhadap pemikiran manusia, baik dari sisi filosofis maupun sosiologis. Sehingga menimbulkan berbagai perbedaan , namun dalam perkembangannya dalam perbedaan tersebut, tetap berada dalam satu benang merah yaitu orientasi keagamaan.


[1] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya,jilid II (Jakarta:UI press,1979) hal. 32
[2] Beerling, Kwee, Mooji van Peursen ; Penantar Filsafat Ilmu
[3] H. endang saefuddin anshari,M.A; Ilmu, Filsafat dan Agama
[4] ibid, hal.47
[5] ibid, hal.47
[6] ibid, hal.47
[7] ibid, hal.47
[8] I.R. Pudjawijatna,Tahu dan Pengetahuan;Pengantar ke Ilmu dan Filsafat 1967
[9] JIGM. DROST SJ; Agama dan Ilmu Pengetahuan Alam
[10] ibid,118
[11] ibid, hal 119
[12] moenawar cholil, definisi dan sendi agama,bulan bintang 1970
[13] H. bahrum rangkuti; jalan kepada Al-qur’an & Bahasa arab
[14]Mustofa Muhammad Asy Syak’ah, Islam Tidak Bermadzab (Jakarta: Gema Insani Press, 1995, Cet. II), hlm. 25
[15]Harun Nasution membagi Sejarah Peradaban Islam ke dalam tiga periode, yaitu periode Klasik (650-1250 M), periode Pertengahan (1250-1800 M), dan periode Modern (1800-sekarang). Apabila kita mengikuti skema pembagian ini, periode Klasik dibagi ke dalam dua masa, yaitu masa Kemajuan I (650-1000 M) dan masa Disintegrasi (1000-1250). Masa Kemajuan I terdiri dari masa Khulafa al-Rasyidin (632-661 M), masa Bani Umayyah (661-750) dan masa Bani Abbasiyyah (750-1250 M).
[16]Adnan Mahmud et al., Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, Cet. I. 2005), hlm. 205
[17]M. Amin Abdullah, “Pengantar” dalam Ahmad Norma Permata (ed) Metodologi Studi Islam [Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000], h.1 dalam Muhammad Djakfar, Pengembangan Ilmu Agama Islam dalam Perspektif Filsafat Ilmu, Sebuah Kajian Aspek Epistemologi (El-Jadid Jurnal Ilmu Pengetahuan Islam, Malang: PPs UIN, vol.2 no.3, 2004), hlm. 2
[18]Muhammad Djakfar, Pengembangan, hlm. 2
[19]Charles J. Adams, “Islamic Religious Tradition”, dalam The Studi of Midle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences. Ed. Leonard Binder. [New York: A.Wiley-Interscience Publication, 1976]. Dalam M. Lutfi Mustofa. Tipologi Pendekatan Dalam Studi Islam: Perspektif Charles J. Adams (Jurnal El-Jadid, Pasca Sarjana UIN Malang, vol II no.4 2005), hlm.103
[20]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), hlm .28
[21]Abuddin Nata, Metodologi, hlm. 35
[22] Muhaimin et al., Kawasan dan Wawasan Studi Islam (Jakarta; Prenada Media, 2005, Cet. I), hlm. 13

1 komentar: