ILMU DAN PARADIGMA ILMU-ILMU AGAMA
OLEH :SUYONO
Abstarct:
Hakikat batin berhubungan dengan
esensi dan sumber. Bilamana hakikat batin mendatangi sember, maka terjadilah
kesatuan. Bilamana orang bergerak menjauhi sumber cahaya, maka ia
membeda-bedakan dan melihat berbagai bayangan-bayangan yang berbeda dan samar
serta profilnya yang berbeda-beda.
“Aku mengetahui Tuhan melalui Tuhan,
bukan melalui Agama, jika sekiranya tidak karena Tuhan, Aku tidak akan tahu
kepada-Nya”.
“Aku mengetahui Tuhan melalui diriku
sehingga aku hancur, Kemudian aku mengetahui Tuhan melalui diri-Nya dan akupun
hidup”[1].
Kata Kunci:
Ilmu, Paradigma dan Ilmu Agama
I.
Pendahuluan
Dewasa ini terdapat perhatian yang cukup besar
terhadap ilmu. Perkembangan cepat yang dialami oleh banyak ilmu serta
pengaruhnya yang semakin besar terhadap kehidupan masyarakat, memaksa kita
untuk mempelajari metode-metode berbagai cabang ilmu. Dalam banyak jurusan
fakultas, telah diajarkan metodologi mata pelajaran kejuruan masing-masing.
Disamping itu, diperlukan metodoligi
ilmu pada umumnya, yang didalamnya sekaligus diperhatikan perbedaan-perbedaan
yang terdapat di antara masing-masing ilmu.
Dalam hal ini, dari berbagai macam ilmu-ilmu
dalam kehidupan bermasyarakat, ada sebuah komponen disiplin ilmu yang sangat
esensial, tidak dapat disangkal bahwasanya ilmu Agama merupakan sebuah disiplin
ilmu yang sangat penting untuk di kaji dan dipelajari lebih mendalam. Maka dari
itu, dengan memperhatikan hal tersebut, salah satu sasaran pendidikan yang
sangat penting adalah pembentukan suatu sikap sebagai suatu kebutuhan untuk
selalu dengan usaha sendiri menambah dan memperkaya ilmu dan pengalamannya, menggali
sumber-sumber yang tersedia dari berbagai referensi dan literatur yang ada.
Khususnya pada ilmu Agama, yang pada akhirnya harus membawa pada penghayatan
dan pengamalan nilai-nilai yang diajarkan, sasaran pendidikan tersebut haruslah
benar-benar tercapai.
II.
Pembahasan
a. Definisi Ilmu
Sesungguhnya ilmu timbul berdasarkan atas
hasil penyaringan, pengaturan, kuantifikasi, obyektivasi, atau singkatnya
berasal atas hasil pengolahan secara metodologi terhadap arus bahan-bahan
pengalaman yang dapat dikumpulkan[2]
. Salah satu corak pengetahuan ialah pengetahuan yang ilmiah, yang lazim
disebut dengan ilmu pengetahuan, atau singkatnya ilmu, yang
ekwivalen artinya dengan science dalam bahasa Inggris dan Prancis, Wisshenchaft
(Jerman) dan Wetenschap (Belanda)[3].
Sebagaimana science berasal dari kata Scio,
Scire (dalam Bahasa Latin) yang berarti tahu. begitupun Ilmu berasal dari kata ‘Alima (Bahasa Arab)
yang juga berati tahu. Jadi, baik ilmu maupun science secara etimologis
berarti pengetahuan. Namun secara terminologis ilmu dan science itu semacam pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri,
tanda-tanda dan syarat-syarat yang khas[4].
Ada beberapa definisi ilmu yang diungkapkan
oleh beberapa ahli, yaitu antara lain: Ralph Ross dan Ernest Van Den
Haag menulis “ Science is
empirical,rational,general and cumulative; and it is all four at once”. (
Ilmu ialah yang empiris, yang rasional, yang umum dan bertimbun-bersusun; dan
keempat-empatnya serentak)[5].
Mohammad Hatta menulis, “ Tiap-tiap ilmu adalah pengetahuan
yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam satu golongan masalah yang
sama tabiatnya, mapun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut
bangunnya dari dalam[6].
Karl Pearson (1857-1936), merumuskan
“ Science is the complete and consistent discription of the facts of
experience in the simplest possible terms”( Ilmu pegetahuan ialah lukisan
atau keterangan yang lengkapdan konsisten tentang fakta pengalaman dengan
istilah yang sesederhana/ sesedikit mungkin)[7].
b. Obyek Ilmu
Setiap ilmu pengetahuan ditentukan oleh
obyeknya. Ada dua macam obyek ilmu pengetahuan, yaitu : Obyek Materia dan
Obyek Forma. Obyek Materia ialah seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan
obyek penyelidikan suatu ilmu. Obyek
Forma ialah obyek materia yang disoroti oleh suatu ilmu, sehingga
membedakan ilmu yang satu dari ilmu lainnya, jika berobyek materia sama[8].
Pada garis besarnya obyek ilmu pengetahuan
adalam Alam dan Manusia. oleh karena itu ada sebagian ahli yang
membagi ilmu pengetahuan atas dua bagian besar, yaitu Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Manusia. Seperti Misalnya
Wilhelm Dilthey (1833-1911) seorang
filsuf bangsa Jerman, membagi ilmu pengetahuan atas dua bagian, Natur
Wissenchaft dan Geites Wissenchaft[9].
Jadi, yang membedakan suatu ilmu dan ilmu
lainnya adalah obyeknya. Apabila kebetulan sama obyek materianya, maka yang
terutama membedakan satu ilmu dari ilmu yang lainnya ialah obyek formanya,
yaitu sudut pandang tertentu yang menentukan macam ilmu.
c. Paradigma
Ilmu-Ilmu Agama
Kata Agama mungkin bukan barang asing untuk
kita dengar, hampir setiap waktu kita selalu mendengar kata tersebut, sehingga
dapat disimpulkan secara sederhana, yaitu bahwa dalam arti teknis : Religion
(Bahasa Inggris), Religie (Belanda), Din (Bahasa Arab) dan Agama
(dalam Bahasa Indonesia)[10].
Tidak ada satu definisi tentang Religion yang
dapat diterima secara umum. Para Failasuf, Sosiolog, Psikolog dan para Teolog
telah memformulasikan definisi tentang Agama menurut caranya masing-masing.
Sebagian Filsuf beranggapan bahwa Religion itu adalah”Supertitious structure
of incoherent methapisical nations”. sebagian ahli Sosiologi lebih senang
menyebut Religion sebagai “Collective expression of human values”. para
pengikut Karl Mark mendefinisikan Religion dengan “The Opiate of the
people”. sementara Psikolog
menyimpulkan bahwa Religion itu adalah “ Mystical complex surrounding a
projected super-ego”[11].
Di dalam Al-Munjid dapat kita temukan
keterangan tentang arti Din sebagai
berikut : Ad-Din (Jama’ Adyan): 1. Al-Jaza Wal –Mukafaah; 2. Al-Qodha;
3. Al-Malik-Al-Muluk Wa s-Sulthan; 4. At-Tadbir; 5. Al-Hisab.
Artinya (1. Pahala, 2. Ketentuan, 3. Kekuasaan, 4. Pengelolaan, 5.
Perhitungan)[12]
Sepanjang hemat kita adalah perkataan Agama
itu kata majemu’ dari bahasa Sansekerta, yang terdiri dari dua perkataan, yang
pertama A dan Gama. A artinya Tidak, Gama artinya Kocar-kacir
atau Berantakan. Jadi arti Agama adalah tidak Kocar-kacir
atau Tidak Berantakan[13].
Agama dalam pengertiannya dapat dikelompokkan
pada dua bahagian yaitu Agama menurut bahasa dan Agama menurut istilah.
Beberapa persamaan arti kata“Agama’’ dalam berbagai bahasa :
1. Ad din (Bahasa
Arab dan Semit)
2. Religion (Inggris)
3. La
religion (Perancis)
4. De
religie (Belanda)
5. Die
religion (Jerman)
Secara bahasa, perkataan ‘’Agama’’ berasal
dari bahasa Sangsekerta yang erat hubungannya dengan Agama Hindu dan Budha yang
berarti ‘’tidak pergi’’tetap di tempat, diwarisi turun temurun’’. Adapun kata din mengandung
arti menguasai, menundukkan, kepatuhan, balasan atau kebisaaan.
Din juga membawa peraturan-peraturan
berupa hukum-hukum yang harus dipatuhi baik dalam bentuk perintah yang wajib
dilaksanakan maupun berupa larangan yang harus ditinggalkan.
Agama menurut istilah adalah undang-undang
atau peraturan-peraturan yang mengikat manusia dalam hubungannya dengan
Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan
alam. Maka orang yang beragama adalah orang yang teratur, orang yang tenteram
dan orang yang damai baik dengan dirinya maupun dengan orang lain dari segala
aspek kehidupannya.
Sebuah Agama bisaanya melingkupi
tiga persoalan pokok, yaitu :
1.
Keyakinan (credial),
yaitu keyakinan akan adanya sesuatu kekuatan supranatural yang diyakini
mengatur dan mencipta alam.
2.
Peribadatan (ritual), yaitu tingkah laku manusia
dalam berhubungan dengan kekuatan supranatural tersebut sebagai konsekuensi
atau pengakuan dan ketundukannya.
3.
Sistem nilai yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya atau alam
semesta yang dikaitkan dengan keyakinan nya tersebut.
Para ilmuan social juga mengajukan definisi
yang berbeda-beda tentang agama, tergantung dari mana mereka melihatnya. Namun,
pada awal mulanya hanya dapat dibedakan dalam dua pendekatan. Pertama,
pendekatan Subtantif, dan kedua, pendekatan Fungsional.
Penkekatan pertama dimulai dengan mencoba mempertanyakan apakah agama
itu. Sedangkan yang kedua memuali dengan pertanyaan apakah fungsi social dan
psikologis agama, baik bagi individu maupun kelompok social. Dengan menggunakan
pendekatan pertama, sekaligus dapat dibedakan mana yang agama dan mana yang
bukan agama. Definisi substantif biasanya mencakupmankan dan kompliks makna
yang dikaitkan dengan wujud-wujud teansenden dalam arti konvensional, seperti
ritus atau bentuk hubungan manusia dengan Tuhan, atau kekuatan adikodrati.
Agama yang pada hakekatnya adalah keyakinan
akan adanya Tuhan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, maka
sangat perlu dipahami secaraseksama oleh setiap manusia.Dalam uraian ini akan
kemukakan pengertian Agama, hubungan Agama dengan manusia, manfa’at Agama,
klasifikasi Agama, dan Agama Islam.
Eksistensi
agama sebagai salah satu kebutuhan spiritual manusia secara historis banyak
mendapat perhatian, baik dalam kalangan insider maupun outsider.
Agama mengandung unsur kepercayaan. Tetapi kepercayaan, belum tentu dalam
bingkai agama. Islam misalnya sebagai salah satu agama besar di dunia,
akhir-akhir ini tidak lepas dari sorotan tajam dan kritis di kalangan para
ahli. Mereka bertolak dari kesadaran bahwa menyingkap ajaran Islam, memahami
lebih dalam komunitas pemeluknya, atau aspek-aspek lain yang sedemikian
komplek, jelas membutuhkan perhatian yang fokus dengan pendekatan atau metode
analisis secara ilmiah.
Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW
diyakini akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik lahir dan
batin, tidak diragukan lagi sebagai agama fitrah, yakni agama yang cocok dengan
potensi dasar manusia. Konstitusinya dapat diterima akal sehat, hidayahnya
menyinari hati, sendi keimanannya adalah kedalaman pengkajian. Inilah agama
yang toleran, fleksibel dan cocok untuk segala masa, situasi dan kondisi.
Syari’atnya mampu mengatur masyarakat.[14]
Persamaan dan penghormatannya terhadap hak asasi yang terkandung dalam
ajarannya, mempersatukan manusia,
mengayomi serta melindungi setiap jiwa manusia, sehingga tenteram menuju
kehidupan kedua yang penuh kenikmatan, sesuai amal baik yang dilakukannya.
Semuanya itulah yang menjadikan Islam dekat dan lekat dengat tabiat atau fitrah
manusia, sehingga manusia merasa rela menjadikannya sebagai agama, cahaya yang
dijadikan penerang kehidupannya, serta sebagai tirai pelindung pemberi
ketenteraman jiwa, bila keraguan melanda.
Al-Qur’an
dan Hadits selain sebagai sumber hukum, juga mengandung ajaran-ajaran yang
sarat dengan petunjuk-petunjuk yang ideal dan agung, seimbang dan memenuhi
kebutuhan material dan spiritual. Gambaran Islam yang ideal tersebut, telah
terbukti dalam sejarah yaitu sekitar tahun 650-1250 M., yang menurut Harun
Nasution (1985) dalam Sejarah Peradaban Islam disebut sebagai zaman klasik.[15] Umat Islam saat itu membuktikan dengan jelas
misi kemanusiaan dari ajaran Islam yang dimaksud. Pada masa itu, Islam telah
memberikan rahmat dalam bidang ilmu pengetahuan, kemakmuran, peradaban, dan
sebagainya.
Saat
ini dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya
metodologi-metodologi ilmu, filsafat, pengetahuan mistik, ilmu sosial, sejarah
beserta berbagai macam pendekatan dan pemahamannya yang bercorak
historis-empiris terhadap perkembangan pemikiran manusia, secara relatif telah membuka wacana baru dalam diskursus
pemikiran agama. Studi agama kontemporer misalnya apabila dilihat dari
bilik fenomena keberagamaan manusia tidak lagi hanya dapat dikaji lewat
pendekatan monolitis, tetapi juga dikaji secara multidimensi. Ia juga tidak
hanya diklaim oleh pandangan teologis-normatif tetapi juga diklaim oleh pandangan historis-empiris. Tidak terkecuali dalam
hal ini studi Islam (Islamic studies).
Studi
Islam sangat diminati dan berkembang baik di negara-negara Islam maupun bukan
negara Islam. Di negara-negara (dunia) Islam, studi Islam misalnya terdapat di
Mesir, Arab Saudi, dan Iran. Sedangkan di negara-negara non Islam
diselenggarakan di beberapa negara seperti India, Amerika Serikat (Chicago, Los
Angeles), Inggris (London) dan Kanada. Sementara di Indonesia studi Islam masih
terbatas di perguruan-perguruan tinggi agama.[16]
Sehubungan
dengan hal ini, M. Amin Abdullah mengatakan bahwa agama memiliki banyak wajah (multifaces) dan tidak seperti dahulu
orang memahaminya, yakni hanya semata-mata terkait dengan masalah ketuhanan,
kepercayaan, kredo, pedoman hidup, dan seterusnya tetapi agama kenyataannya
juga memiliki keterkaitan yang erat dengan persoalan historis-kultural,[17] yaitu terkait dengan dimensi ruang, waktu, dan sejarah peradaban manusia
itu sendiri yang terus mengalami perubahan dan perkembangan. Agama juga tidak
lagi terbatas pada ajaran dogmatis yang harus dipatuhi dan dijalankan, tetapi ia
juga perlu untuk dianalisa, diteliti, dikaji dan diuji secara logis-empiris
sebelum benar-benar dilaksanakan oleh penganutnya.
Ilmu
agama-agama (The Science of Religions) dalam tradisi keilmuan yang
bersifat historis-empiris mempunyai berbagai nama yang beragam. Antara lain, Comparative
Religions, The Scientific Study of Religion, Allgemeine Religiongeschichte,
Religionwissenschaft, Phenomenology of
Religions, History of Religions, dan sebagainya. Dalam studi
agama-agama dengan wilayah telaah yang ditujukan pada fenomena kehidupan
beragama manusia pada umumnya, biasanya didekati lewat berbagai disiplin
keilmuan yang bersifat historis-empiris (bukan doktrinal-normatif). Maka muncullah
cabang-cabang keilmuan agama seperti Sejarah Agama (History of Religion),
Psikologi Agama (Psychology of Religion), Antropologi Agama (Anthropology
of Religion), dan lain-lain.[18]
Di dalam
Islam indikasi ke arah pentingnya pengkajian kebenaran norma agama tampak
ditandai dengan pentingnya peran penggunaan akal dalam beragama. Hal tersebut
tercermin dari banyaknya ayat al-Qur’an yang menyeru untuk mempergunakan akal
untuk berfikir, merenung serta berkontemplasi untuk menemukan
kebenaran-kebenaran hakiki.
Sampai di
sini, tersirat bahwa kajian tentang agama memiliki ruang lingkup yang sangat
luas dan komplek. Untuk memahaminya diperlukan studi ilmiah yang fokus dan
benar-benar komprehensif.
Demikian lebarnya ruang lingkup yang dicakupi agama, menurut Charles J. Adams,
diibaratkan suatu hutan yang dipenuhi dengan aneka ragam hayati, sehingga
sangat kaya nuansa.[19] Ia tidak hanya terdiri dari beberapa varian
saja tetapi juga terkait dengan varian-varian lain yang membentuk sebuah
‘gugusan’ agama. Yang dengan begitu, untuk memahaminya secara lebih holistik
diperlukan perangkat yang komprehensif
dengan aneka pendekatan kajian agama (multi dan interdisipliner).
Diantara aneka pendekatan tersebut adalah pendekatan teologis normatif,
antropologis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan dan pendekatan
filosofis.
Aneka
pendekatan dalam kajian (study) agama ini telah memiliki paradigmanya
sendiri dalam membahas tentang suatu agama. Masing-masing berdiri sendiri untuk
mencoba mengkaji agama. Pendekatan teologis normatif misalnya merupakan sebuah
upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ke-Tuhan-an yang bertolak
dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai
yang paling benar dibandingkan dengan lainnya[20]. Sedangkan pendekatan antropologis mencoba memahami agama
dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat dan seterusnya.[21]
Sedangkan
pendekatan filosofis, yang akan penulis bahas dalam makalah ini, adalah
merupakan upaya untuk memahami agama dengan cara berfikir secara lebih
mendalam, sistematis, radikal dan universal. Usaha ini dimaksudkan agar hikmah,
hakikat, atau inti dari ajaran agama tersebut dapat dimengerti dan dipahami
secara seksama. Adapun menurut Muhaimain dkk. (2005)
pendekatan filosofis yang dimaksudkan adalah melihat suatu permasalahan dari
sudut tinjauan filsafat dan berusaha untuk menjawab dan memecahkan permasalahan
itu dengan menggunakan motode analisis spekulatif[22].
Tulisan ini tidak akan membahas tentang studi agama secara
keseluruhan, tetapi penulis batasi pada studi Islam (Islamic Studies) dalam kerangka pendekatan filosofis.
III.
Penutup
Ilmu membuat orang berfikir cerdas tentang berbagai aspek
kehidupan. Dalam aspek kehidupan pula, orientasi keagamaan tampak berpengaruh
pula terhadap pemikiran manusia, baik dari sisi filosofis maupun sosiologis.
Sehingga menimbulkan berbagai perbedaan , namun dalam perkembangannya dalam
perbedaan tersebut, tetap berada dalam satu benang merah yaitu orientasi
keagamaan.
[14]Mustofa Muhammad Asy Syak’ah,
Islam Tidak Bermadzab (Jakarta: Gema Insani Press, 1995, Cet. II), hlm. 25
[15]Harun Nasution membagi Sejarah
Peradaban Islam ke dalam tiga periode, yaitu periode Klasik (650-1250 M),
periode Pertengahan (1250-1800 M), dan periode Modern (1800-sekarang). Apabila
kita mengikuti skema pembagian ini, periode Klasik dibagi ke dalam dua masa,
yaitu masa Kemajuan I (650-1000 M) dan masa Disintegrasi (1000-1250). Masa
Kemajuan I terdiri dari masa Khulafa al-Rasyidin (632-661 M), masa Bani Umayyah
(661-750) dan masa Bani Abbasiyyah (750-1250 M).
[16]Adnan Mahmud et al., Pemikiran
Islam Kontemporer di Indonesia (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, Cet. I. 2005),
hlm. 205
[17]M. Amin Abdullah, “Pengantar”
dalam Ahmad Norma Permata (ed) Metodologi Studi Islam [Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000], h.1 dalam Muhammad Djakfar, Pengembangan
Ilmu Agama Islam dalam Perspektif Filsafat Ilmu, Sebuah Kajian Aspek
Epistemologi (El-Jadid Jurnal Ilmu Pengetahuan Islam, Malang: PPs UIN,
vol.2 no.3, 2004), hlm. 2
[18]Muhammad Djakfar, Pengembangan,
hlm. 2
[19]Charles J. Adams, “Islamic Religious Tradition”, dalam The Studi of Midle East: Research and Scholarship in the
Humanities and the Social Sciences. Ed. Leonard Binder. [New York: A.Wiley-Interscience Publication, 1976]. Dalam M. Lutfi Mustofa. Tipologi Pendekatan Dalam
Studi Islam: Perspektif Charles J. Adams (Jurnal
El-Jadid, Pasca Sarjana UIN Malang, vol II no.4 2005), hlm.103
[22] Muhaimin et al., Kawasan dan Wawasan Studi Islam
(Jakarta; Prenada Media, 2005, Cet. I), hlm. 13
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus