Rabu, 14 Maret 2012

Konsep Wahyu Dalam ala-Qur'an


KONSEPSI WAHYU MENURUT AL-QUR’AN
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Wahyu berasal dari bahasa Arab, dari kata “Waha-Yahi-Wahyan” yang berarti : Suara, api, kecepatan, bisikan, isyarat, tulisan, kitab[1]. Menurut Syech Muhammad Abduh, wahyu adalah kata masdar yang berarti berita, baik berita itu disampaikan secara tulisan atau lisan[2]. Sedang menurut Fazlur Rahman, wahyu berdekatan artinya dengan inspirasi atau inspirasi ide-kata[3].
Menurut Syara’ wahyu berarti pemberitahuan Allah kepada Nabi di antara Nabi-Nabinya tentang hukum syara’ yang disepakati[4]. Pemberitahuan Allah tersebut disampaikan secara tersembunyi dan dengan cepat. Yang dalam bentuknya tertinggi merupakan firman (Kalam) Allah[5].

B.     Deskripsi Wahyu Dalam Al-Qur’an
Syech Muhammad Abduh mengatakan, bahwa wahyu adalah pengetahuan yang didapat seseorang pada dirinya sendiri dengan keyakinan yang penuh, bahwa pengetahuan itu datang dari Allah SWT baik dengan suatu perantara ataupun tidak. Hal ini dibedakan dengan ilham. Menurutnya Ilham adalah perasaan (wijdan) yang meyakinkan hati, dan yang mendorongnya untuk mengikuti tanpa diketahui dari mana datangnya. Dan ilham itu hampir serupa dengan perasaan lapar, haus, duka dan suka[6].
Adapun jenis-jenis wahyu Allah itu sebagai berikut:
1.      Wahyu yang dianugerahkan kepada alam yang dikenal dengan Sunnatullah. Hukum-hukum Allah yang berlaku untuk alam semesta, seperti gerak grafitasi.
2.      Wahyu yang dianugerahkan kepada binatang, seperti wahyu kepada lebah agar membuat sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon dan di tempat yang dibangun oleh manusia. Wahyu ini merupakan tabiat atau instink, naluri.
3.      Wahyu yang dianugerahkan kepada Malaikat, wahyu ini berfungsi untuk meneguhkan pendirian orang-orang yang beriman.
4.      Wahyu yang dianugerahkan kepada manusia, yang diturunkan dengan tiga cara.
Pertama adalah wahyu dalam bentuk ide, gerak, atau petunjuk yang dibekaskan atau dibisikkan ke dalam kalbu, seperti wahyu Allah kepada ibu Nabi Musa dan kepada Hawariyyun, yang secara tekhnis disebut Wahy Khafiy dan ini merupakan wahyu Allah kepada manusia sejagad baik Nabi maupun bukan Nabi. Hadist Nabipun termasuk wahyu jenis ini[7]. Namun setanpun membisikkan sesuatu untuk berbuat jahat, oleh al-Qur’an juga menggunakan kata wahyu (Q.S. 6:112) sehingga tidak mustahil seseorang menerima wahyu dari Tuhan padahal diterimanya dari setan[8].
Kedua, wahyu dari belakang tirai (Min wara’i hijab) yakni Allah mewahyukan suatu kebenaran melalui rukyah (Impian) Kasysyaf (Vision atau pandangan yang goin di balik alam nyata dan ilham ) yaitu mendengar suara atau mengucapkan kata-kata dalam keadaan perpindahan untuk sementara waktu ke alam ruhani, yakni dalam keadaan tidur dan jaga. Dengan demikian, orang yang diberi wahyu dari belakang tirai ini diperlihatkan diperlihatkan pada suatu impian atau vision yang mempunyai arti lebih dalam dari apa yang sekedar terlihat dalam impian atau vision itu, tetapi arti itu seakan-akan diselubungi dan orang harus mencari arti impian itu dari belakang tirai. Dan wahyu jenis inipun dialami oleh setiap manusia, bukan hanya para Nabi dan Rasul[9].
Ketiga, adalah wahyu yang khusus dianugerahkan kepada Nabi atau Rasul Allah, yang secara tehnis disebut Wahy Matluw atau wahyu yang dibacakan, karena wahyu jenis ini berbentuk Firman (kalam) Allah yang dibacakan kepada para Nabi atau utusan-Nya (Malaikat Jibril). Wahyu Allah kepada para Nabi merupakan wahyu tertinggi, karena wahyu ini memberikan gambaran yang sempurna tentang ajaran agama yang hak. Karena itu wahyu jenis ini disebut juga Wahy Syar’iy atau wahyu agama, dan kitab-kitab suci atau shuhuf merupakan catatan resmi dari wahyu jenis ini. Dengan demikian wahyu jenis ketiga ini sudah terhenti turun sampai pada Nabi Muhammad SAW. Sebagai Khatam Al-Nabiyyin. Sedangkan wahyu jenis lainnya akan turun terus menerus kepada setiap manusia hingga akhir jaman[10].
Dengan demikian, maka pemberitahuan yang bersifat gaib, rahasia dan sangat cepat yang dinamai wahyu, menurut pandangan al-Qur’an mempunyai makna tersendiri yang sama sekali berlainan maknanya dengan penfsiran wahyu menurut agama kristen. Sebab menurut pandangan kristen, wahyu yang berbentuk firman (kalam) Allah itu ada pada Yesus, sedang dalam Islam berbentuk Kitab (al-Qur’an). Adapun wahyu yang berbentuk hadist (dalam Islam), menurut orang kristen sama dengan al-Kitab (Injil Matius, Lukas, Juhanes, dan Markus), yang ditulis oleh murid-murid Yesus.
C.    Karakteristik Wahyu
Salah satu dasar aqidah Islam ialah, bahwa wahyu adalah satu-satunya sumber agama. Wahyu itu sendiri sebagaimana dijelaskan di muka secara khusus terbatas pada dua hal, yaitu al-Qur’an dan al-Hadist. Dua macam wahyu ini telah tertulis pada nash yang terbatas, yang berbentuk al-Qur’an dan dinukil oleh generasi umat ini dalam sebuah Mushaf; sedangkan wahyu yang berbentuk al-hadist dinukil oleh umat ini dari berbagai kumpulan kitab Hadist. Nash yang memiliki kapasitas sebagai wahyu ini mempunyai karakteristik dan hukum tersendiri, baik dalam sifatnya maupun dalam kapasitasnya sebagai wahyu Ilahi; baik dalam kondisinya yang memuat ajaran-ajaran dan petunjuk maupun dalam cara pemaparan ajarannya pada umat manusia.
Pengetahuan mengenai berbagai karakteristik wahyu itu dianggap sangat penting dalam kaitannya dengan pemahaman ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Dr. Abd. al-Majid al-Najjar dalam kitabnya yang berjudul “ Fi Fiqh al-Tadayyun Fahman wa Tanzilan” menjelaskan tujuh karakteristik yang dimiliki oleh wahyu, antara lain:
1.      Wahyu, baik berupa al-Qur’an maupun al-Hadist, bersumber dari Tuhan. Pribadi Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan makna wahyu ini, memainkan peran yang sangat penting dalam menyampaikan wahyu tersebut. Makna dan lafadz al-Qur’an bersumber dari Tuhan, sedang hadist, hanya maknanya saja yang berasal dari Tuhan, tidak sekaligus dengan lafaldnya.
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ   ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ  
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
Inilah karakteristik internal wahyu, adapun jika ditinjau dari segi kebenarannya sebagai sumber yang berasal dari Tuhan, baik yang berupa al-Qur’an dan Hadist Mutawatir dapat dipastikan. Sedangkan Hadist ahad sifatnya tidak mutlak (Dhanni). Konsekwensinya, kehujjahan dalil yang kebenarannya pasti adalah mutlak., mencakup seluruh ajaran agama. Sedangkan dalil yang kebenarannya tidak mutlak, kehujjahannya terbatas pada ajaran-ajaran yang berkaitan dengan prilaku manusia, tidak menyangkut keyakinan atau aqidah[11].
2.      Wahyu, baik yang berupa al-Qur’an atau al-Hadist, merupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu; baik perintah itu diungkapkan dalam bentuk umum maupun khusus. Kecuali ada dalil yang mengecualikannya, seperti:
$ygƒr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# !$¯RÎ) $oYù=n=ômr& y7s9 y7y_ºurør& ûÓÉL»©9$# |MøŠs?#uä  Æèduqã_é& $tBur ôMs3n=tB y7ãYÏJtƒ !$£JÏB uä!$sùr& ª!$# šøn=tã ÏN$oYt/ur y7ÏiHxå ÏN$oYt/ur y7ÏG»£Jtã ÏN$oYt/ur y7Ï9%s{ ÏN$oYt/ur y7ÏG»n=»yz ÓÉL»©9$# tböy_$yd šyètB Zor&zöD$#ur ºpoYÏB÷sB bÎ) ôMt7ydur $pk|¦øÿtR ÄcÓÉ<¨Z=Ï9 ÷bÎ) yŠ#ur& ÓÉ<¨Z9$# br& $uhysÅ3ZtFó¡o Zp|ÁÏ9%s{ y7©9 `ÏB Èbrߊ tûüÏZÏB÷sßJø9$# 3 ôs% $uZ÷KÎ=tæ $tB $oYôÊtsù öNÎgøŠn=tæ þÎû öNÎgÅ_ºurør& $tBur ôMx6n=tB öNßgãZ»yJ÷ƒr& ŸxøŠs3Ï9 tbqä3tƒ šøn=tã Óltym 3 šc%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÎÉÈ 

“Hai Nabi, Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang Termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Keumuman ayat tersebut harus dikembalikan pada sendi akidah yang menyatakan bahwa Islam merupakan agama universal untuk setiap umat manusia[12].
3.      Wahyu itu berupa nash-nash yang berbahasa Arab dengan gaya ungkap dan gaya bahasa yang berlaku. Orang Arab memiliki gramatika yang khas dalam bahasa mereka, baik dari segi indikasi lafal terhadap maknanya, dari segi makna yang tidak terkandung pada lafalnya maupun dari segi kekayaan sastranya. Wahyu ini menggunakan bahasa Arab dengan kaidahnya yang paling tinggi, sehingga al-Qur’an mencapai tingkat yang tidak dapat dicapai oleh manusia (I’jaz).
tAttR ÏmÎ/ ßyr9$# ßûüÏBF{$# ÇÊÒÌÈ   4n?tã y7Î7ù=s% tbqä3tGÏ9 z`ÏB tûïÍÉZßJø9$# ÇÊÒÍÈ  
Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril),. ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.”[13]

4.      Apa yang dibawa oleh wahyu itu tidak ada yang bertentangan dengan akal; bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal. Dalam wahyu itu disebutkan bahwa akal merupakan dasar bagi pemberian beban kewajiban. Jika dalam wahyu ada sesuatu yang bertentangan dengan akal, berarti ada pemberian beban kewajiban yang tidak mampu dulakukan oleh manusia, padahal Allah menjelaskan :
Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4 $ygs9 $tB ôMt6|¡x. $pköŽn=tãur $tB ôMt6|¡tFø.$# 3 $oY­/u Ÿw !$tRõÏ{#xsè? bÎ) !$uZŠÅ¡®S ÷rr& $tRù'sÜ÷zr& 4 $oY­/u Ÿwur ö@ÏJóss? !$uZøŠn=tã #\ô¹Î) $yJx. ¼çmtFù=yJym n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB $uZÎ=ö6s% 4 $uZ­/u Ÿwur $oYù=ÏdJysè? $tB Ÿw sps%$sÛ $oYs9 ¾ÏmÎ/ ( ß#ôã$#ur $¨Ytã öÏÿøî$#ur $oYs9 !$uZôJymö$#ur 4 |MRr& $uZ9s9öqtB $tRöÝÁR$$sù n?tã ÏQöqs)ø9$#  šúï͍Ïÿ»x6ø9$# ÇËÑÏÈ  

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."
Sebagian dari wahyu yang nampaknya bertentangan dengan akal, baik yang berasal dari al-Qur’an mapun al-Hadist, boleh jadi dikarenakan wahyu itu terlalu tinggin untuk di pahami oleh akal manusia walupun ia sebenarnya tidak bertentangan dengan akal, tetapi dengan melakukan takwil, pertentangan itu dapat terhindarkan. Selain itu, penyebabnya bisa jadi kesalahan akan dalam mengambil kesimpulan sehingga hasil kesimpulan itu bertentangan dengan wahyu; hal itu diakibatkan oleh pengambilan kesimpulan yang tidak berdasarkan metode pengkajian dan pembahasan yang benar. Penyebab lainnya, adalah adanya anggapan sebagai wahyu padahal ia berasal dari hadist ahad, yang hakikatnya bukan wahyu. Dalam kondisi seperti ini, tidak dapat dikatakan bahwa apa yang dibawa oleh wahyu pada hakekatnya tidak bertentangan dengan akal[14].
5.      Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia an sich, baik berupa perintah maupun larangan. keduanya berkaitan dengan ajaran yang sifatnya langsung terkait dengan jenis perbuatan tersebut. Misalnya, larangan yang berkaitan dengan pencurian, dan perintah yang berkaitan dengan kejujuran. Adapun keterkaitan wahyu dengan perbuatan yang khusus berkaitan dengan kondisi tempat dan waktu, misalnya pencurian yang dilakukan oleh Zayd, atau kejujuran yang dilakukan oleh ‘Amr, sehingga dapat dipertimbangkan dengan akal. pemutusan hukumnya harus dilihat terlebih dahulu: apakah wahyu itu berkait dengan kasus itu secara langsung atau tidak. Ataukah, wahyu itu benar-benar terkait langsung dengan kategori perbuatan itu.
6.      Sesungguhnya wahyu yang berupa al-Qur’an dan al-Hadist, turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.Turunnya sesuai dengan keperluan dan kasus yang terjadi pada zaman dan tempat di mana ia diturunkan. Oleh karena itu, karena wahyu tersebut secara internal mempunyai berbagai makna dan hukum, ia juga melibatkan berbagai kategori nyata ketika diturunkan. Sehingga penguasaan pengetahuan mengenai kondisi nyata yang melingkupi tempat dimana wahyu itu diturunkan merupakan perkara yang sangat penting dalam memahami agama yang berasal dari wahyu[15].
        Karakteristik wahyu tersebut diurutkan sesuai dengan sifatnya, didahulukan karakteristik yang mempunyai nuansa akidah, di ikuti dengan karakteristik yang mempunyai sisi yang mengandung perintah dan larangan, kemudian disusul dengan karakteristik yang berkaitan dengan penunjukan yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu, sangat penting memahami sisi eksternal wahyu tersebut; bahkan orang yang tidak mempercayainya. Jika sisi eksternalnya itu di pahami, hasil pemahamannya bukanlah agama Islam, tetapi merupakan sesuatu yang lain; yaitu, campuran antara ajaran yang dibwa oleh wahyu dan sesuatu yang dibuat oleh akal orang yang memahaminya. Contoh seperti itu pada zaman dahulu ataupun sekarang sangat banyak, sesuatu di klaim sebagai Islam padahal pada hakekatnya bukan.
D.    Transformasi Wahyu Dalam Bahasa Manusia
Para Teolog sepakat bahwa bahasa lisan merupakan bahasa primer dalam ritual keagamaan. bahkan apa yang disebut wahyu Ilahi pada dasarnya bukanlah bahasa tertulis. Al-Qur’an sebagai wahyu (Kalam) Allah diwahyukan jibril kepada Nabi Muhammad, bukanlah berupa bendelan kitab yang sekaligus turun, melainkan datang berangsur-angsur. Namun yang menjadi persoalan bagi mereka yang secara intelektual terpanggil untuk mengetahui lebih jauh bagaimanakah Allah yang Maha Absolut, yang bersifat immateri berkomunikasi dan merupakan “Bahasanya” ke dalam diri manusia yang relatif, yang bersifat materi, yang kemudian terjelma ke dalam ungkapan lisan Arab. Dengan ungkapan lain mereka, terutama kalangan filusof terdorong untuk mendapatkan pemahaman secara maksimal mengenai hubungan simbiotik antara wahyu-kalam (Ide) Allah yang abadi, universal, met-historis, kemudian hadir kedalam “tubuh” bahasa Arab yang besifat budaya, berdimensi lokal dan partikular[16].
Al-Farabi sebagai filosof Islam yang dikenal sebagai “guru kedua” dalam filsafat memberikan pemecahan dalam teori Emanasinya. Bahwa akal manusia yang telah mencapai derajat perolehan (Mustafad), dapat mengadakan hubungan dengan akal ke sepuluh, yang dalam penjelasan Ibn Sina adalah Jibril. Komunikasi itu dapat terjadi karena akal perolehan telah begitu terlatih dan begitu kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni. Dan komunikasi antara seorang Nabi dengan Tuhan dilakukan bukan dengan melalui akal dalam derajat materiil. Seorang Nabi kata Ibn Sina, dianugerahi Tuhan akal yang mempunyai daya tangkap yang luar biasa, sehingga tanpa latihan ia dapat melakukan komunikasi secara langsung dengan Jibril. Akal demikian mempunyai kekuatan suci (qudsiah) dan diberi nama Hads. Tidak ada akal yang lebih kuat dari akal demikian, dan hanya Nabi-Nabi yang memperoleh akal demikian kuat[17]. Akal yang mempunyai kekuatan suci demikianlah yang membuat seorang Nabi, dalam pengertian filsafat Islam, dapat mengadakan komunikasi dengan Jibril sebagai utusan dari Tuhan.
Pandangan yang demikian itu diakui oleh W. Montgomery Watt, bahwa kondisi semacam itu terjadi ketika fikiran dalam keadaan kurang atau lebih pasif sjalah baru “bisikan” itu datang, tetapi pasif yang demikian tidak sama dengan pasif akibat tekanan mental dan spiritual, atau sikap itu diupayakan sebagai suatu keadaan mental yang kosong. Dalam keseluruhan peristiwa ini, Nabi merupakan seorang penerima wahyu yang pasif[18]. Hal ini berbeda dengan kondisi seorang filsuf dalam menerima ‘wahyu” dari akal Fa’al (Jibril) melalui komunikasi yang bersifat aktif.
Sejalan dengan pendapat W. Montgomery Watt, Fazlur Rahman menjelaskan bahwa pengalaman Nabi dalam menerima wahyu terjadi dalam atau disertai suatu keadaan “setengah sadar” atau “kwasi-mimpi”, karena Nabi meriwayatkan, setelah menceritakan pengalaman itu, telah mengatakan: “kemudian Aku terjaga” bersama dengan berlalunya waktu. Nabi Muhammad mulai melancarkan perjuangan berat dengan dasar keyakinan-keyakinannya, dan pengalaman-pengalamannya menerima wahyu ini semakin sering, sementara tradisi Islam menjelaskan bahwa pengalaman-pengalaman wahyu Nabi ini (ketika Ia menyelam kerelung kesadaran yang paling dalam) biasanya disertai dengan gejala-gejala fisik tertentu. Bderdasarkan ini beberapa sejarahwan modern mengemukakan dugaan bahwa Nabi Muhammad menderita penyakit ayan. Tetapi bila periksa dengan seksama, teori penyakit ayan ini menghadapi sanggahan yang menurut kami akan memporak-porandakannya. Pertama-tama, kondisi timbul baru setelah kenabian Muhammad mulai, yaitu setelah ia berusia 40 tahun, sedangkan kondisi tersebut tidak ada jejaknya dalam kehidupan beliau sebelumnya. Kedua, Hadist atau tradisi Islam menjelaskan bahwa kondisi ini hanya terjadi bersama-sama dengan pengalaman penerimaan wahyu dan tak pernah terjadi secara terpisah. Sehingga kalaulah Ia mau disebut ayan, tentulah itu jenis penyakit ayan yang aneh yang selalu menyerang pada saat turunnya wahyu. Terakhir, adalah hampir tak bisa dipercaya bahwa sesuatu penyakit yang jelas kelihatan seperti ayan tidak diketahui dengan jelas dan pasti oleh suatu masyarakat yang sudah beradat istiadat seperti masyarakat Makkah dan Madinah waktu itu[19].
Cerita seperti ini menggambarkan Nabi selama menerima wahyu, bagaikan dalam keadaan psiko-fisik yang tidak normal. Padahal penyakit ayan bagaimanapun dapat terjadi dalam keadaan normal. Sehingga pandangan terhadap Nabi dan wahyu kenabian yang menyatakan bahwa tingkat kesadaran Nabi adalah “normal” adalah pandangan yang didukung oleh semua orang, bahkan dikemudian harinya dirumuskan secara eksplisit oleh ortodoksi Islam. Perumusan ini disuga untuk menjamin eksternalitas dari malaikat atau suara wahyu, demi menjamin obyektivitas wahyu[20]. Dengan demikian tuduhan terhadap Nabi atas ketidak mungkianan berkomunikasi dengan Tuhan dapat ditolak.
Pertanyaan berikutnya, jika memang al-Qur’an itu kalam Allah, apakah jaminannya Muhammad tidak akan salah tangkap dan salah ingat, padahal Muhammad kadang kala merasa ketakutan dan bagaikan menahan beban berat ketika menerima wahyu. Pertanyaaan serupa bahkan lebih serius lagi tidaklah asing dalam dunia akademis terlebih lagi sekarang ini ketika  teori kriti sastra dan kritik teks, termasuk teks kitab suci, semakin berkembang. Bagi mereka yang sengaja ingin menyudutkan Islam beranggapan, bahwa jika posisi al-Qur’an berhasil digoyang, maka semua ajaran yang dibangun diatasnya pasti akan roboh.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Ikhwan al-Shafa menjelaskan, bahwa jiwa manusia itu bagaikan cermin yang mampu menangkap sesuatu yang ada di hadapannya. Makin bersih cermin itu, maka makin dapat menangkap gambaran sesuatu secara utuh walaupun merupakan sesuatu yang abstrak, dan jika cermin itu tidak bersih atau terdapat noda-noda yang menghalanginya, maka sesuatu yang ditangkapnya juga makin tidak sempurna. Jiwa seorang rasul (Nabi Muhammad) telah dijamin kesuciannya dan kebersihannya sehingga kemampuan untuk menangkap sesuatu gambaran dari alam rohani akan diterima secara utuh.
Untuk menjelaskan bagaimana transformasi wahyu Allah yang merupakan bahasa lisan ke bahas tulis. Komaruddin Hidayat menjelaskan, bahwa pakar languistik ternama, Ferdinand de Saussure (1857-1913) berpendapat, bahwa ujaran atau pembicaraan lebih primer dari pada tulisan. Pendapat senada dikemukakan oleh Henry Sweet (1845-1912), bahwa meskipun bahasa bisa dituangkan dalam huruf dan simbol-simbol, namun huruf itu sebenarnya mengasumsikan adanya pembaca yang membunyikannya sehingga muncul suatu yang bermakna yang disepakati oleh masyarakat. Tetapi dalam wilayah keagamaan bahasa lisan dan dialog langsung antara pembicara dan pendengar masih sangat diperlukan, bahkan dalam hal ibadah malah diwajibkan. Dalam hal ini para pakar sepakat bahwa sesungguhnya sejak awal al-Qur’an adalah kitab yang dibaca dan didengarkan, bahkan sejak masa Rasul Muhammad SAW sampai sekarang dengan mata rantai orang banyak (Mutawatir) baik melalui ibadah shalat, membaca al-Qur’an beramai-ramai, tradisi hafalan, maupun dalam bentuk seni membaca al-Qur’an telah mengakar dimasyarakat Islam. Akurasi pembacaan dan penghafalan serta kuatnya mata rantai transmisi al-Qur’an sejak dari mulut Muhammad SAW sampai ke generasi berikutnya tanpa deviasi merupakan keunggulan yang khas pada al-Qur’an, yang tidak dimiliki oleh kitab suci agama lain[21].
Karena sasaran kitab suci pada umumnya memberikan penekanan lebih kuat pada hati dan kesadaran moral, bukan spekulasi intelektual, maka bahasa lisan lebih efektif dari pada bahasa tulis. Mengapa bahasa agama menekankan bahasa lisan, antara lain karena berkaitan dengan faktor historis bahwa agama diturunkan pada masyarakat yang masih di dominasi oleh tradisi bicara-dengar, bukan baca-tulis. Kemudian juga sasran agama adalah masyrakat luas. Sehingga metode dakwahnya tentu lebih tepat menggunakan tradisi lisan. Adapun secara metafisis, pada mulanya wahyu kitab suci memang diturunkan bukan berupa kitab yang sudah dijilid tetapi melalui “bahasa batin”. lebih dari itu semua, kominikasi bahasa sesungguhnya merupakan peristiwa antar manusia yang tidak hanya sekedar seseorang berbicara dan lain mendengar, tetapi disitu terlihat beberapa fariabel yang kompleks yang kalu diceritakan kembali melalui tulisan akan mengalami distorsi[22].
Setiap ekspresi, kata Whitehead, selalu terkait oleh suasan partikular, suasana yang khas dan lokal. ekspresi berkaitan ndengan hal-hal yang dianggap penting pada saat diucapkan sehingga ekspresi kalimat yang serupa akan memiliki lain ketika konteksnya berbeda. Pendapat Whitehead ini sangat relevan untuk menganalisa ekspresi bahasa keagamaan terutama dalam acara ritual. Karena bahasa al-Qur’an dan al-Hadist ketika diucapkan pada mulanya juga memiliki kaitan dengan ruang dan waktu, maka dikenal ilmu Asbab an-Nuzul  hal ini akhirnya menimbulkan persoalan penafsiran ketika umat Islam hidup di zaman akhir hanya mengenal Islam melalui teks-teks keagamaan, khususnya al-qur’an dan al-Hadist, yang tidak diketahui lagi konteksnya. Meskipun tradisi baca tulis sudah berkembang pesat, namun bahasa lisan memiliki kelebihan tersendiri yang menurut kritikus sastra Arab, salah satu kekuatan dan keunggulan al-Qur’an adalah terletak pada gaya bahasa dan retorikanya yang sangat memukau yang tak tertandingi sampai hari ini, yang dalam istilah teologi keunggulan itu merupakan salah satu aspek kemu’jizatan al-Qur’an[23].
E.     Penutup
Al-Qur’an sebagai wahyu Allah meskipun pencatatannya sudah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW namun kodifikasi secara lengkap dan terpadu baru dilaksanakan pada masa pemerintahan Khalifah Utsman Ibn Affan (644-656 M). Para ulama’ Islam dan kebanyakan kritikus sejarah sepakat bahwa transmisi al-Qur’an sejak dari Nabi Muhammad sampai masa kodifikasinya dan kemudian muncul pada kita dalam bentuk cetakan tidak mengalami nperubahan apapun, yang sekarang telah dicetak jutaan exemplar atau bahkan milyaran. Akan tetapi hakekat al-Qur’an bukanlah yang tetulis di antara dua sampul mushaf yang bisa kita pegang selama ini, melainkan berada pada dunia lain yang bersifat metafisis sebagai kalam Allah yang abadi[24].













DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Akal dan Wahyu, U.I. pres, Jakarta. 1980

Syech Muhammad Abduh, Risalah Tauhid. (Terj. firdaus,AN) Bulan Bintang, Jakarta, 1975.

Fazlur Rahman, Islam, Pustaka, Bandung, 1984,

Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah istilah al-Qur’an, Mizan Bandung, 1989.

Subhi As-Shalih, Membahas ilmu-ilmu al-Qur’an (terj. Team pustaka Firdaus). Pustaka firdaus, Jakarta,1995.hal.19

W.Montgomery Watt, Pengantar Studi al-Qur’an (terj. Taufuq  Adnan Amal),Rajawali press,Jakarta,1991.

Abd. al-Majid al-Najjar, Pemahaman Islam antara Rakyu dan Wahyu (terj. Bahruddin Fannani) Remaja Rusdakarya, Bandung,1997.

Komaruddin Hidayat,Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik,Paramadina.Jakarta.



[1] Harun Nasution, Akal dan Wahyu, U.I. pres, Jakarta. 1980 hal. 15
[2] Syech Muhammad Abduh, Risalah Tauhid. (Terj. firdaus,AN) Bulan Bintang, Jakarta, 1975. hal. 144
[3] Fazlur Rahman, Islam, Pustaka, Bandung, 1984, hal. 32
[4] Ibid
[5] Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah istilah al-Qur’an, Mizan Bandung, 1989. hal. 148
[6] Ibid
[7] Ibid, hal. 179; lihat juga Subhi As-Shalih, Membahas ilmu-ilmu al-Qur’an (terj. Team pustaka Firdaus). Pustaka firdaus, Jakarta,1995.hal.19
[8] Subhi As-Shalih, hal. 19
[9] Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah istilah al-Qur’an, Mizan Bandung, 1989 hal.149-150
Subhi As-Shalih, hal.20-21
[10] ibid, hal. 150
[11] Abd. al-Majid al-Najjar, Pemahaman Islam antara Rakyu dan Wahyu (terj. Bahruddin Fannani) Remaja Rusdakarya, Bnadung,1997.hal.19-20
[12] Ibid, hal. 20-21
[13] Ibid, hal. 21

[14] Ibid, hal. 22
[15] Ibid, hal. 24
[16] Harun Nasution,.hal.17;
Komaruddin Hidayat,Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik,Paramadina.Jakarta.hal. 101-103
[17],Ibid. hal.18
[18] W.Montgomery Watt, Pengantar Studi al-Qur’an (terj. Taufuq  Adnan Amal),Rajawali press,Jakarta,1991.hal.35-36
[19] Fazlur Rahman, Islam. (Terj. Ahsin Mohammad) Pustaka Bandung, 1984, hal. 4-5
[20] Ibid, hal. 5
[21] Komaruddin Hidayat, hal.103-107
[22] Ibid. hal. 108
[23] Ibid. hal. 110-111
[24] Ibid, hal. 114-120

Tidak ada komentar:

Posting Komentar