KONSEPSI WAHYU MENURUT AL-QUR’AN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Wahyu berasal dari bahasa Arab, dari kata “Waha-Yahi-Wahyan”
yang berarti : Suara, api, kecepatan, bisikan, isyarat, tulisan, kitab[1].
Menurut Syech Muhammad Abduh, wahyu adalah kata masdar yang berarti berita,
baik berita itu disampaikan secara tulisan atau lisan[2].
Sedang menurut Fazlur Rahman, wahyu berdekatan artinya dengan inspirasi atau
inspirasi ide-kata[3].
Menurut Syara’ wahyu berarti pemberitahuan
Allah kepada Nabi di antara Nabi-Nabinya tentang hukum syara’ yang disepakati[4].
Pemberitahuan Allah tersebut disampaikan secara tersembunyi dan dengan cepat.
Yang dalam bentuknya tertinggi merupakan firman (Kalam) Allah[5].
B. Deskripsi Wahyu
Dalam Al-Qur’an
Syech Muhammad Abduh mengatakan, bahwa wahyu
adalah pengetahuan yang didapat seseorang pada dirinya sendiri dengan keyakinan
yang penuh, bahwa pengetahuan itu datang dari Allah SWT baik dengan suatu
perantara ataupun tidak. Hal ini dibedakan dengan ilham. Menurutnya Ilham
adalah perasaan (wijdan) yang meyakinkan hati, dan yang mendorongnya untuk
mengikuti tanpa diketahui dari mana datangnya. Dan ilham itu hampir serupa
dengan perasaan lapar, haus, duka dan suka[6].
Adapun jenis-jenis wahyu Allah itu sebagai
berikut:
1. Wahyu yang dianugerahkan kepada alam yang
dikenal dengan Sunnatullah. Hukum-hukum Allah yang berlaku untuk alam
semesta, seperti gerak grafitasi.
2. Wahyu yang dianugerahkan kepada binatang,
seperti wahyu kepada lebah agar membuat sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon
dan di tempat yang dibangun oleh manusia. Wahyu ini merupakan tabiat atau
instink, naluri.
3. Wahyu yang dianugerahkan kepada Malaikat,
wahyu ini berfungsi untuk meneguhkan pendirian orang-orang yang beriman.
4. Wahyu yang dianugerahkan kepada manusia, yang
diturunkan dengan tiga cara.
Pertama adalah wahyu dalam bentuk ide, gerak,
atau petunjuk yang dibekaskan atau dibisikkan ke dalam kalbu, seperti wahyu
Allah kepada ibu Nabi Musa dan kepada Hawariyyun, yang secara tekhnis disebut Wahy
Khafiy dan ini merupakan wahyu Allah kepada manusia sejagad baik Nabi
maupun bukan Nabi. Hadist Nabipun termasuk wahyu jenis ini[7].
Namun setanpun membisikkan sesuatu untuk berbuat jahat, oleh al-Qur’an juga
menggunakan kata wahyu (Q.S. 6:112) sehingga tidak mustahil seseorang menerima
wahyu dari Tuhan padahal diterimanya dari setan[8].
Kedua, wahyu dari belakang tirai (Min
wara’i hijab) yakni Allah mewahyukan suatu kebenaran melalui rukyah (Impian)
Kasysyaf (Vision atau pandangan yang goin di balik alam nyata dan ilham )
yaitu mendengar suara atau mengucapkan kata-kata dalam keadaan perpindahan
untuk sementara waktu ke alam ruhani, yakni dalam keadaan tidur dan jaga. Dengan
demikian, orang yang diberi wahyu dari belakang tirai ini diperlihatkan
diperlihatkan pada suatu impian atau vision yang mempunyai arti lebih dalam
dari apa yang sekedar terlihat dalam impian atau vision itu, tetapi arti itu
seakan-akan diselubungi dan orang harus mencari arti impian itu dari belakang
tirai. Dan wahyu jenis inipun dialami oleh setiap manusia, bukan hanya para
Nabi dan Rasul[9].
Ketiga, adalah wahyu yang khusus dianugerahkan
kepada Nabi atau Rasul Allah, yang secara tehnis disebut Wahy Matluw
atau wahyu yang dibacakan, karena wahyu jenis ini berbentuk Firman (kalam)
Allah yang dibacakan kepada para Nabi atau utusan-Nya (Malaikat Jibril). Wahyu
Allah kepada para Nabi merupakan wahyu tertinggi, karena wahyu ini memberikan
gambaran yang sempurna tentang ajaran agama yang hak. Karena itu wahyu jenis
ini disebut juga Wahy Syar’iy atau wahyu agama, dan kitab-kitab suci
atau shuhuf merupakan catatan resmi dari wahyu jenis ini. Dengan demikian wahyu
jenis ketiga ini sudah terhenti turun sampai pada Nabi Muhammad SAW. Sebagai Khatam
Al-Nabiyyin. Sedangkan wahyu jenis lainnya akan turun terus menerus kepada
setiap manusia hingga akhir jaman[10].
Dengan demikian, maka pemberitahuan yang
bersifat gaib, rahasia dan sangat cepat yang dinamai wahyu, menurut pandangan
al-Qur’an mempunyai makna tersendiri yang sama sekali berlainan maknanya dengan
penfsiran wahyu menurut agama kristen. Sebab menurut pandangan kristen, wahyu
yang berbentuk firman (kalam) Allah itu ada pada Yesus, sedang dalam Islam
berbentuk Kitab (al-Qur’an). Adapun wahyu yang berbentuk hadist (dalam Islam),
menurut orang kristen sama dengan al-Kitab (Injil Matius, Lukas, Juhanes, dan
Markus), yang ditulis oleh murid-murid Yesus.
C. Karakteristik
Wahyu
Salah satu dasar aqidah Islam ialah, bahwa
wahyu adalah satu-satunya sumber agama. Wahyu itu sendiri sebagaimana
dijelaskan di muka secara khusus terbatas pada dua hal, yaitu al-Qur’an dan
al-Hadist. Dua macam wahyu ini telah tertulis pada nash yang terbatas, yang
berbentuk al-Qur’an dan dinukil oleh generasi umat ini dalam sebuah Mushaf;
sedangkan wahyu yang berbentuk al-hadist dinukil oleh umat ini dari berbagai
kumpulan kitab Hadist. Nash yang memiliki kapasitas sebagai wahyu ini mempunyai
karakteristik dan hukum tersendiri, baik dalam sifatnya maupun dalam
kapasitasnya sebagai wahyu Ilahi; baik dalam kondisinya yang memuat ajaran-ajaran
dan petunjuk maupun dalam cara pemaparan ajarannya pada umat manusia.
Pengetahuan mengenai berbagai karakteristik
wahyu itu dianggap sangat penting dalam kaitannya dengan pemahaman
ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Dr. Abd. al-Majid al-Najjar dalam
kitabnya yang berjudul “ Fi Fiqh al-Tadayyun Fahman wa Tanzilan” menjelaskan
tujuh karakteristik yang dimiliki oleh wahyu, antara lain:
1. Wahyu, baik berupa al-Qur’an maupun al-Hadist,
bersumber dari Tuhan. Pribadi Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan makna wahyu
ini, memainkan peran yang sangat penting dalam menyampaikan wahyu tersebut. Makna
dan lafadz al-Qur’an bersumber dari Tuhan, sedang hadist, hanya maknanya saja
yang berasal dari Tuhan, tidak sekaligus dengan lafaldnya.
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
“Dan Tiadalah
yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
Inilah
karakteristik internal
wahyu, adapun jika ditinjau dari segi kebenarannya sebagai sumber yang berasal
dari Tuhan, baik yang berupa al-Qur’an dan Hadist Mutawatir dapat dipastikan.
Sedangkan Hadist ahad sifatnya tidak mutlak (Dhanni). Konsekwensinya,
kehujjahan dalil yang kebenarannya pasti adalah mutlak., mencakup seluruh
ajaran agama. Sedangkan dalil yang kebenarannya tidak mutlak, kehujjahannya
terbatas pada ajaran-ajaran yang berkaitan dengan prilaku manusia, tidak
menyangkut keyakinan atau aqidah[11].
2. Wahyu, baik yang berupa al-Qur’an atau al-Hadist,
merupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal
ruang dan waktu; baik perintah itu diungkapkan dalam bentuk umum maupun khusus.
Kecuali ada dalil yang mengecualikannya, seperti:
$ygr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# !$¯RÎ) $oYù=n=ômr& y7s9 y7y_ºurør& ûÓÉL»©9$# |Møs?#uä Æèduqã_é& $tBur ôMs3n=tB y7ãYÏJt !$£JÏB uä!$sùr& ª!$# øn=tã ÏN$oYt/ur y7ÏiHxå ÏN$oYt/ur y7ÏG»£Jtã ÏN$oYt/ur y7Ï9%s{ ÏN$oYt/ur y7ÏG»n=»yz ÓÉL»©9$# tböy_$yd yètB Zor&zöD$#ur ºpoYÏB÷sB bÎ) ôMt7ydur $pk|¦øÿtR ÄcÓÉ<¨Z=Ï9 ÷bÎ) y#ur& ÓÉ<¨Z9$# br& $uhysÅ3ZtFó¡o Zp|ÁÏ9%s{ y7©9 `ÏB Èbrß tûüÏZÏB÷sßJø9$# 3 ôs% $uZ÷KÎ=tæ $tB $oYôÊtsù öNÎgøn=tæ þÎû öNÎgÅ_ºurør& $tBur ôMx6n=tB öNßgãZ»yJ÷r& xøs3Ï9 tbqä3t øn=tã Óltym 3 c%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÎÉÈ
“Hai
Nabi, Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah
kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang Termasuk apa
yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan
(demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak
perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara
laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut
hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi
kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua
orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada
mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya
tidak menjadi kesempitan bagimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
Keumuman ayat tersebut harus dikembalikan pada sendi akidah yang menyatakan
bahwa Islam merupakan agama universal untuk setiap umat manusia[12].
3. Wahyu itu berupa nash-nash yang berbahasa Arab
dengan gaya ungkap dan gaya bahasa yang berlaku. Orang Arab memiliki gramatika
yang khas dalam bahasa mereka, baik dari segi indikasi lafal terhadap maknanya,
dari segi makna yang tidak terkandung pada lafalnya maupun dari segi kekayaan
sastranya. Wahyu ini menggunakan bahasa Arab dengan kaidahnya yang paling
tinggi, sehingga al-Qur’an mencapai tingkat yang tidak dapat dicapai oleh
manusia (I’jaz).
tAttR ÏmÎ/ ßyr9$# ßûüÏBF{$# ÇÊÒÌÈ 4n?tã y7Î7ù=s% tbqä3tGÏ9 z`ÏB tûïÍÉZßJø9$# ÇÊÒÍÈ
“Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril),. ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan.”[13]
4. Apa yang dibawa oleh wahyu itu tidak ada yang
bertentangan dengan akal; bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal. Dalam
wahyu itu disebutkan bahwa akal merupakan dasar bagi pemberian beban kewajiban.
Jika dalam wahyu ada sesuatu yang bertentangan dengan akal, berarti ada
pemberian beban kewajiban yang tidak mampu dulakukan oleh manusia, padahal
Allah menjelaskan :
w ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) $ygyèóãr 4 $ygs9 $tB ôMt6|¡x. $pkön=tãur $tB ôMt6|¡tFø.$# 3 $oY/u w !$tRõÏ{#xsè? bÎ) !$uZÅ¡®S ÷rr& $tRù'sÜ÷zr& 4 $oY/u wur ö@ÏJóss? !$uZøn=tã #\ô¹Î) $yJx. ¼çmtFù=yJym n?tã úïÏ%©!$# `ÏB $uZÎ=ö6s% 4 $uZ/u wur $oYù=ÏdJysè? $tB w sps%$sÛ $oYs9 ¾ÏmÎ/ ( ß#ôã$#ur $¨Ytã öÏÿøî$#ur $oYs9 !$uZôJymö$#ur 4 |MRr& $uZ9s9öqtB $tRöÝÁR$$sù n?tã ÏQöqs)ø9$# úïÍÏÿ»x6ø9$# ÇËÑÏÈ
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat
pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah
Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah
Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami
apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan
rahmatilah kami. Engkaulah
penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."
Sebagian dari wahyu yang nampaknya bertentangan dengan akal, baik yang
berasal dari al-Qur’an mapun al-Hadist, boleh jadi dikarenakan wahyu itu
terlalu tinggin untuk di pahami oleh akal manusia walupun ia sebenarnya tidak
bertentangan dengan akal, tetapi dengan melakukan takwil, pertentangan itu
dapat terhindarkan. Selain itu, penyebabnya bisa jadi kesalahan akan dalam
mengambil kesimpulan sehingga hasil kesimpulan itu bertentangan dengan wahyu;
hal itu diakibatkan oleh pengambilan kesimpulan yang tidak berdasarkan metode
pengkajian dan pembahasan yang benar. Penyebab lainnya, adalah adanya anggapan
sebagai wahyu padahal ia berasal dari hadist ahad, yang hakikatnya bukan wahyu.
Dalam kondisi seperti ini, tidak dapat dikatakan bahwa apa yang dibawa oleh
wahyu pada hakekatnya tidak bertentangan dengan akal[14].
5. Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori
perbuatan manusia an sich, baik berupa perintah maupun larangan.
keduanya berkaitan dengan ajaran yang sifatnya langsung terkait dengan jenis
perbuatan tersebut. Misalnya, larangan yang berkaitan dengan pencurian, dan
perintah yang berkaitan dengan kejujuran. Adapun keterkaitan wahyu dengan perbuatan
yang khusus berkaitan dengan kondisi tempat dan waktu, misalnya pencurian yang
dilakukan oleh Zayd, atau kejujuran yang dilakukan oleh ‘Amr, sehingga dapat
dipertimbangkan dengan akal. pemutusan hukumnya harus dilihat terlebih dahulu:
apakah wahyu itu berkait dengan kasus itu secara langsung atau tidak. Ataukah,
wahyu itu benar-benar terkait langsung dengan kategori perbuatan itu.
6. Sesungguhnya wahyu yang berupa al-Qur’an dan
al-Hadist, turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.Turunnya
sesuai dengan keperluan dan kasus yang terjadi pada zaman dan tempat di mana ia
diturunkan. Oleh karena itu, karena wahyu tersebut secara internal mempunyai
berbagai makna dan hukum, ia juga melibatkan berbagai kategori nyata ketika
diturunkan. Sehingga penguasaan pengetahuan mengenai kondisi nyata yang
melingkupi tempat dimana wahyu itu diturunkan merupakan perkara yang sangat
penting dalam memahami agama yang berasal dari wahyu[15].
Karakteristik wahyu tersebut diurutkan
sesuai dengan sifatnya, didahulukan karakteristik yang mempunyai nuansa akidah,
di ikuti dengan karakteristik yang mempunyai sisi yang mengandung perintah dan
larangan, kemudian disusul dengan karakteristik yang berkaitan dengan
penunjukan yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu, sangat penting memahami
sisi eksternal wahyu tersebut; bahkan orang yang tidak mempercayainya. Jika
sisi eksternalnya itu di pahami, hasil pemahamannya bukanlah agama Islam,
tetapi merupakan sesuatu yang lain; yaitu, campuran antara ajaran yang dibwa
oleh wahyu dan sesuatu yang dibuat oleh akal orang yang memahaminya. Contoh
seperti itu pada zaman dahulu ataupun sekarang sangat banyak, sesuatu di klaim
sebagai Islam padahal pada hakekatnya bukan.
D. Transformasi
Wahyu Dalam Bahasa Manusia
Para Teolog sepakat bahwa bahasa lisan
merupakan bahasa primer dalam ritual keagamaan. bahkan apa yang disebut wahyu Ilahi
pada dasarnya bukanlah bahasa tertulis. Al-Qur’an sebagai wahyu (Kalam) Allah
diwahyukan jibril kepada Nabi Muhammad, bukanlah berupa bendelan kitab yang
sekaligus turun, melainkan datang berangsur-angsur. Namun yang menjadi
persoalan bagi mereka yang secara intelektual terpanggil untuk mengetahui lebih
jauh bagaimanakah Allah yang Maha Absolut, yang bersifat immateri berkomunikasi
dan merupakan “Bahasanya” ke dalam diri manusia yang relatif, yang bersifat
materi, yang kemudian terjelma ke dalam ungkapan lisan Arab. Dengan ungkapan
lain mereka, terutama kalangan filusof terdorong untuk mendapatkan pemahaman
secara maksimal mengenai hubungan simbiotik antara wahyu-kalam (Ide) Allah yang
abadi, universal, met-historis, kemudian hadir kedalam “tubuh” bahasa Arab yang
besifat budaya, berdimensi lokal dan partikular[16].
Al-Farabi sebagai filosof Islam yang dikenal
sebagai “guru kedua” dalam filsafat memberikan pemecahan dalam teori
Emanasinya. Bahwa akal manusia yang telah mencapai derajat perolehan
(Mustafad), dapat mengadakan hubungan dengan akal ke sepuluh, yang dalam
penjelasan Ibn Sina adalah Jibril. Komunikasi itu dapat terjadi karena akal
perolehan telah begitu terlatih dan begitu kuat daya tangkapnya sehingga
sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni. Dan komunikasi antara
seorang Nabi dengan Tuhan dilakukan bukan dengan melalui akal dalam derajat
materiil. Seorang Nabi kata Ibn Sina, dianugerahi Tuhan akal yang mempunyai
daya tangkap yang luar biasa, sehingga tanpa latihan ia dapat melakukan komunikasi
secara langsung dengan Jibril. Akal demikian mempunyai kekuatan suci (qudsiah)
dan diberi nama Hads. Tidak ada akal yang lebih kuat dari akal demikian,
dan hanya Nabi-Nabi yang memperoleh akal demikian kuat[17].
Akal yang mempunyai kekuatan suci demikianlah yang membuat seorang Nabi, dalam
pengertian filsafat Islam, dapat mengadakan komunikasi dengan Jibril sebagai
utusan dari Tuhan.
Pandangan yang demikian itu diakui oleh W.
Montgomery Watt, bahwa kondisi semacam itu terjadi ketika fikiran dalam keadaan
kurang atau lebih pasif sjalah baru “bisikan” itu datang, tetapi pasif yang
demikian tidak sama dengan pasif akibat tekanan mental dan spiritual, atau
sikap itu diupayakan sebagai suatu keadaan mental yang kosong. Dalam
keseluruhan peristiwa ini, Nabi merupakan seorang penerima wahyu yang pasif[18].
Hal ini berbeda dengan kondisi seorang filsuf dalam menerima ‘wahyu” dari akal
Fa’al (Jibril) melalui komunikasi yang bersifat aktif.
Sejalan dengan pendapat W. Montgomery Watt,
Fazlur Rahman menjelaskan bahwa pengalaman Nabi dalam menerima wahyu terjadi
dalam atau disertai suatu keadaan “setengah sadar” atau “kwasi-mimpi”, karena
Nabi meriwayatkan, setelah menceritakan pengalaman itu, telah mengatakan:
“kemudian Aku terjaga” bersama dengan berlalunya waktu. Nabi Muhammad mulai
melancarkan perjuangan berat dengan dasar keyakinan-keyakinannya, dan
pengalaman-pengalamannya menerima wahyu ini semakin sering, sementara tradisi
Islam menjelaskan bahwa pengalaman-pengalaman wahyu Nabi ini (ketika Ia
menyelam kerelung kesadaran yang paling dalam) biasanya disertai dengan
gejala-gejala fisik tertentu. Bderdasarkan ini beberapa sejarahwan modern
mengemukakan dugaan bahwa Nabi Muhammad menderita penyakit ayan. Tetapi bila
periksa dengan seksama, teori penyakit ayan ini menghadapi sanggahan yang
menurut kami akan memporak-porandakannya. Pertama-tama, kondisi timbul baru
setelah kenabian Muhammad mulai, yaitu setelah ia berusia 40 tahun, sedangkan
kondisi tersebut tidak ada jejaknya dalam kehidupan beliau sebelumnya. Kedua, Hadist
atau tradisi Islam menjelaskan bahwa kondisi ini hanya terjadi bersama-sama
dengan pengalaman penerimaan wahyu dan tak pernah terjadi secara terpisah.
Sehingga kalaulah Ia mau disebut ayan, tentulah itu jenis penyakit ayan yang
aneh yang selalu menyerang pada saat turunnya wahyu. Terakhir, adalah hampir
tak bisa dipercaya bahwa sesuatu penyakit yang jelas kelihatan seperti ayan
tidak diketahui dengan jelas dan pasti oleh suatu masyarakat yang sudah beradat
istiadat seperti masyarakat Makkah dan Madinah waktu itu[19].
Cerita seperti ini menggambarkan Nabi selama
menerima wahyu, bagaikan dalam keadaan psiko-fisik yang tidak normal. Padahal
penyakit ayan bagaimanapun dapat terjadi dalam keadaan normal. Sehingga
pandangan terhadap Nabi dan wahyu kenabian yang menyatakan bahwa tingkat
kesadaran Nabi adalah “normal” adalah pandangan yang didukung oleh semua orang,
bahkan dikemudian harinya dirumuskan secara eksplisit oleh ortodoksi Islam.
Perumusan ini disuga untuk menjamin eksternalitas dari malaikat atau suara
wahyu, demi menjamin obyektivitas wahyu[20].
Dengan demikian tuduhan terhadap Nabi atas ketidak mungkianan berkomunikasi
dengan Tuhan dapat ditolak.
Pertanyaan berikutnya, jika memang al-Qur’an
itu kalam Allah, apakah jaminannya Muhammad tidak akan salah tangkap dan salah
ingat, padahal Muhammad kadang kala merasa ketakutan dan bagaikan menahan beban
berat ketika menerima wahyu. Pertanyaaan serupa bahkan lebih serius lagi
tidaklah asing dalam dunia akademis terlebih lagi sekarang ini ketika teori kriti sastra dan kritik teks, termasuk
teks kitab suci, semakin berkembang. Bagi mereka yang sengaja ingin menyudutkan
Islam beranggapan, bahwa jika posisi al-Qur’an berhasil digoyang, maka semua
ajaran yang dibangun diatasnya pasti akan roboh.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Ikhwan
al-Shafa menjelaskan, bahwa jiwa manusia itu bagaikan cermin yang mampu
menangkap sesuatu yang ada di hadapannya. Makin bersih cermin itu, maka makin
dapat menangkap gambaran sesuatu secara utuh walaupun merupakan sesuatu yang
abstrak, dan jika cermin itu tidak bersih atau terdapat noda-noda yang
menghalanginya, maka sesuatu yang ditangkapnya juga makin tidak sempurna. Jiwa
seorang rasul (Nabi Muhammad) telah dijamin kesuciannya dan kebersihannya
sehingga kemampuan untuk menangkap sesuatu gambaran dari alam rohani akan
diterima secara utuh.
Untuk menjelaskan bagaimana transformasi wahyu
Allah yang merupakan bahasa lisan ke bahas tulis. Komaruddin Hidayat
menjelaskan, bahwa pakar languistik ternama, Ferdinand de Saussure (1857-1913)
berpendapat, bahwa ujaran atau pembicaraan lebih primer dari pada tulisan.
Pendapat senada dikemukakan oleh Henry Sweet (1845-1912), bahwa meskipun bahasa
bisa dituangkan dalam huruf dan simbol-simbol, namun huruf itu sebenarnya
mengasumsikan adanya pembaca yang membunyikannya sehingga muncul suatu yang
bermakna yang disepakati oleh masyarakat. Tetapi dalam wilayah keagamaan bahasa
lisan dan dialog langsung antara pembicara dan pendengar masih sangat
diperlukan, bahkan dalam hal ibadah malah diwajibkan. Dalam hal ini para pakar
sepakat bahwa sesungguhnya sejak awal al-Qur’an adalah kitab yang dibaca dan
didengarkan, bahkan sejak masa Rasul Muhammad SAW sampai sekarang dengan mata
rantai orang banyak (Mutawatir) baik melalui ibadah shalat, membaca al-Qur’an
beramai-ramai, tradisi hafalan, maupun dalam bentuk seni membaca al-Qur’an
telah mengakar dimasyarakat Islam. Akurasi pembacaan dan penghafalan serta
kuatnya mata rantai transmisi al-Qur’an sejak dari mulut Muhammad SAW sampai ke
generasi berikutnya tanpa deviasi merupakan keunggulan yang khas pada
al-Qur’an, yang tidak dimiliki oleh kitab suci agama lain[21].
Karena sasaran kitab suci pada umumnya
memberikan penekanan lebih kuat pada hati dan kesadaran moral, bukan spekulasi
intelektual, maka bahasa lisan lebih efektif dari pada bahasa tulis. Mengapa
bahasa agama menekankan bahasa lisan, antara lain karena berkaitan dengan
faktor historis bahwa agama diturunkan pada masyarakat yang masih di dominasi
oleh tradisi bicara-dengar, bukan baca-tulis. Kemudian juga sasran agama adalah
masyrakat luas. Sehingga metode dakwahnya tentu lebih tepat menggunakan tradisi
lisan. Adapun secara metafisis, pada mulanya wahyu kitab suci memang diturunkan
bukan berupa kitab yang sudah dijilid tetapi melalui “bahasa batin”. lebih dari
itu semua, kominikasi bahasa sesungguhnya merupakan peristiwa antar manusia
yang tidak hanya sekedar seseorang berbicara dan lain mendengar, tetapi disitu
terlihat beberapa fariabel yang kompleks yang kalu diceritakan kembali melalui
tulisan akan mengalami distorsi[22].
Setiap ekspresi, kata Whitehead, selalu
terkait oleh suasan partikular, suasana yang khas dan lokal. ekspresi berkaitan
ndengan hal-hal yang dianggap penting pada saat diucapkan sehingga ekspresi
kalimat yang serupa akan memiliki lain ketika konteksnya berbeda. Pendapat
Whitehead ini sangat relevan untuk menganalisa ekspresi bahasa keagamaan
terutama dalam acara ritual. Karena bahasa al-Qur’an dan al-Hadist ketika
diucapkan pada mulanya juga memiliki kaitan dengan ruang dan waktu, maka
dikenal ilmu Asbab an-Nuzul hal
ini akhirnya menimbulkan persoalan penafsiran ketika umat Islam hidup di zaman
akhir hanya mengenal Islam melalui teks-teks keagamaan, khususnya al-qur’an dan
al-Hadist, yang tidak diketahui lagi konteksnya. Meskipun tradisi baca tulis
sudah berkembang pesat, namun bahasa lisan memiliki kelebihan tersendiri yang
menurut kritikus sastra Arab, salah satu kekuatan dan keunggulan al-Qur’an
adalah terletak pada gaya bahasa dan retorikanya yang sangat memukau yang tak
tertandingi sampai hari ini, yang dalam istilah teologi keunggulan itu
merupakan salah satu aspek kemu’jizatan al-Qur’an[23].
E. Penutup
Al-Qur’an sebagai wahyu Allah meskipun
pencatatannya sudah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW namun kodifikasi secara
lengkap dan terpadu baru dilaksanakan pada masa pemerintahan Khalifah Utsman
Ibn Affan (644-656 M). Para ulama’ Islam dan kebanyakan kritikus sejarah
sepakat bahwa transmisi al-Qur’an sejak dari Nabi Muhammad sampai masa
kodifikasinya dan kemudian muncul pada kita dalam bentuk cetakan tidak mengalami
nperubahan apapun, yang sekarang telah dicetak jutaan exemplar atau bahkan
milyaran. Akan tetapi hakekat al-Qur’an bukanlah yang tetulis di antara dua
sampul mushaf yang bisa kita pegang selama ini, melainkan berada pada dunia
lain yang bersifat metafisis sebagai kalam Allah yang abadi[24].
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Akal dan Wahyu, U.I.
pres, Jakarta. 1980
Syech Muhammad Abduh, Risalah Tauhid.
(Terj. firdaus,AN) Bulan Bintang, Jakarta, 1975.
Fazlur Rahman, Islam, Pustaka, Bandung,
1984,
Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah istilah
al-Qur’an, Mizan Bandung, 1989.
Subhi As-Shalih, Membahas ilmu-ilmu
al-Qur’an (terj. Team pustaka Firdaus). Pustaka firdaus,
Jakarta,1995.hal.19
W.Montgomery Watt, Pengantar Studi al-Qur’an
(terj. Taufuq Adnan Amal),Rajawali
press,Jakarta,1991.
Abd. al-Majid al-Najjar, Pemahaman Islam
antara Rakyu dan Wahyu (terj. Bahruddin Fannani) Remaja Rusdakarya, Bandung,1997.
Komaruddin Hidayat,Memahami Bahasa Agama:
Sebuah Kajian Hermeneutik,Paramadina.Jakarta.
[7] Ibid, hal. 179; lihat juga Subhi
As-Shalih, Membahas ilmu-ilmu al-Qur’an (terj. Team pustaka Firdaus). Pustaka
firdaus, Jakarta,1995.hal.19
Subhi As-Shalih, hal.20-21
[11] Abd.
al-Majid al-Najjar, Pemahaman Islam antara Rakyu dan Wahyu (terj. Bahruddin Fannani)
Remaja Rusdakarya, Bnadung,1997.hal.19-20
Komaruddin
Hidayat,Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutik,Paramadina.Jakarta.hal. 101-103
[17],Ibid. hal.18
[18] W.Montgomery Watt,
Pengantar Studi al-Qur’an (terj. Taufuq
Adnan Amal),Rajawali press,Jakarta,1991.hal.35-36
[24] Ibid, hal. 114-120
Tidak ada komentar:
Posting Komentar