Rabu, 14 Maret 2012

Sufi


MENEMUKAN KEBENARAN

Tujuan terakhir dari syeikh sufi adalah membantu muridnya menemukan kebenaran dalam diri dan untuk dicerahi tentang hakikat. Agar terpenuhi setiap waktu, penyinglah menetuka sebab-sebab ketidak bahagiaan. Sebab hakiki dari ketidak puasan berakar pada pelanggaran-pelanggaran batas, pembangkangan, pengharapan, hasrat, ketakutan, kecemasan dan aspek-aspek lain sepeti kurangnya pemahaman tentang alam hakikat. Dari sisi pandangan kaum sufi, amal ibadah dasar yang ditetapkan oleh syariat seperti sholat, zakat, puasa, naik haji dan seterusnya, walaupun wajib tidaklah cukup untuk kabanyakan manusia yang sakit dalam rumah sakit besar d idunia.
Dunia adalah rumah sakit Tuhan dan para Rasul, Nabi serta para Wali atau syeikh sufi adalah dokter jiwanya, karena ada berbagai jenis penyakit, maka bangsal rumah sakitpun berbeda-beda. Ada klinik dimana pasien tak tinggal lama, ada kamar dimana pasien tinggal hanya beberapa minggu, dimana ada kamar bedah dimana para dokter atau syeikh sufi sibuk “mengoperasi” pasien-pasiennya. Kita dapat pula obat-obat yang diresepkan sesuai dengan keperluan pasien, dengan mempertimbangkan lingkungan seluruhnya dan semua keadaan sekitar.
Fungsi terakhir dari seorang guru sufi ialah memindahkan si pencari secara berangsur-angsur, sesuai dengan kecepatan langkahnya, sampai ketingkat dimana ia mampu membaca “kitab” yang ada di dalam hatinya. Apabila si pencari mempelajari seni ini dan menjadi kuat serta bertindak sesuai dengan kehendak, maka jelaslah ia sedang maju dan berkembang. Tujuan si syeikh ialah melepaskan dan menyampaikan kepada orang lain apa yang telah dicapainya sendiri.
Proses ini, dinyatakan sebelumnya, dapat ditingkatkan apabila lingkkungan maupun pendampingnya tepat, dan bilamana si murid berniat untuk belajar dan berkemauan untuk bertindak dengan semestinya. Guru tidak bisa berbuat banyak bila si pencari tidak ingin maju. Si penempuh jalan bisa menyerah pada suatu tahap perjalanan, selangkah tinggal selangkah lagi. Namun kadang-kadang walaupun si murid ingin ingin maju tidak ada jaminan bahwa tujuannya akan terpenuhi sesuai dengan harapan. Syeikh Al-Faituri (1979) berkata sebagai berikut tentang dilema guru dalam salah satu syairnya “ Betapapun besar si guru berusaha. Betapapun besar si murid menghendaki. Betapapun khusu’nya dia (beribadah) siang dan malam. Akhirnya pencerahan adalah anugerah Allah.
Tugas guru ialah membimbing si pencari sepanjang jalan yang sudah di tertibkan sampai dititik mana ia mampu duduk dalam kejagaan mutlak tanpa menjaga sesuatu. Ini puncak terakhir yang murni dan sederhana dari puncak meditasi (Khalwat).
Sejak itu seterusnya hanya Allah yang dapat menolong dia. Jadi si pencari harus melengkapi sendiri setengah lingkaran, tetapi setengah lingkaran lagi tidak berada di daerah kekuasaannya. Anda naik setinggi anda dapat memanjat, lalu beserah diri.
Menurut pengalaman para sufi, tingkat kemajuan sepanjang perjalanan spiritual tidak menurut garis lurus. Makin banyak waktu yang anda curahkan untuk memperaktekkan bahasa, makin cakap anda dalam berbahasa, karena hal itu dapat diprogram sehingga dapat diukur dan oleh karena itu lebih mudah diperoleh, disisi lain ilmu kebatinan dapat diukur tapi sukar untuk mengukurnya.
Apabila seseorang sanggup melenyapkan sama sekali segala keterikatan sekarang ini juga, kebangunan akan segera dicapai.  Apabila tidak demikian, maka ia harus melewati tumpukan disiplin, peringatan yang terus menerus dan penderitaan yang tak henti-henti untuk sampai pada kesadaran yang sempurna. Kemajuan spiritual tidak bisa diukur seperti mengukur usaha-usaha lain. Orang mungkin menghabiskan waktu bertahun-tahun tanpa nampak terjadi sesuatu dan tiba-tiba saja dalam waktu dua hari segala sesuatu terjadi.
Orang mungkin menghabiskan waktu bertahun-tahun mentaati gurunya dan merasa bahwa tak terjadi banyak kemajuan, padahal dalam realitasnya mungkin amat banyak “karat” spiritual telah disingkirkan dalam waktu itu. Seperti menyingkirkan karat setebal beberapa inchi dan masih belum dapat melihat dasar logam dibawahnya. Padahal logam itu mungkin tinggal satu mili meter karat lagi. Kita tak mampu mengukur kemajuan spiritual secara lahiriah, karena ia berdasar pada kesucian hati dan kemudian untuk menanggalkan keterikatan.
Itu tergantung pada derajat ketundukan si pencari kepada Nabi. Mula-mula ia tunduk dengan menggunakan penalaran dan akalnya, dan dengan mempelajari seluruh hubungan kausalitas. Kemudian kemajuan spiritual mengambil momentumnya sendiri. Kemudian ketundukan yang sederhana membawanya pada ketundukan yang lebih manis, dan lebih spontan tanpa mengandung keraguan. Sebelum keadaan ini tercapai, tak banyak yang dapat terjadi. Jadi, waktu yang diperlukan untuk terjadinya pembukaan-pembukaan tertentu tidak dapat diukur semudah itu. Hubungan yang patut antara pencari dan guru spiritual diperlukan agar dapat dicapai kemajuan yang berkelanjutan.
Murid terdekat syeikh sufi Imam Junaidi bernama Syibli. Imam Junaidi (910) sangat mencintainya. Pernah dalam suatu pertemuan, salah satu anggotanya mulai mengagumi dan memuji Syibli di hadapannya dan banyak orang lain. Imam Junaidi menyela dan mulai menceritakan segala kesalahan dan kekurangan Syibli. Syibli merasa malu dan diam-diam mengundurkan diri dari pertemuan itu. Ketika ia pergi, Imam Junaidi berkata “ saya melindunginya dari perisai penghinaan dari panah berbisa pujian yang berlebihan”. Karena Imam junaidi tahu kalau Syibli hampir mencapai suatu maqam spiritual. Dan apabila pujian-pujian itu tidak dipotong, mungkin akan melambungkan egonya dan menciptakan rintangan. Rintangan terbesar terhadap kebangunan batin ialah menghargai diri sendiri.
Seluruh jalan hidup sufi berkisar pada menghilangkan keterikatan, dan keterikatan yang terbesar dan terburuk kebetulan adalah ilmu pengetahuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar