MENEMUKAN
KEBENARAN
Tujuan terakhir dari syeikh sufi adalah membantu muridnya menemukan
kebenaran dalam diri dan untuk dicerahi tentang hakikat. Agar terpenuhi setiap
waktu, penyinglah menetuka sebab-sebab ketidak bahagiaan. Sebab hakiki dari
ketidak puasan berakar pada pelanggaran-pelanggaran batas, pembangkangan,
pengharapan, hasrat, ketakutan, kecemasan dan aspek-aspek lain sepeti kurangnya
pemahaman tentang alam hakikat. Dari sisi pandangan kaum sufi, amal ibadah
dasar yang ditetapkan oleh syariat seperti sholat, zakat, puasa, naik haji dan
seterusnya, walaupun wajib tidaklah cukup untuk kabanyakan manusia yang sakit
dalam rumah sakit besar d idunia.
Dunia adalah rumah sakit Tuhan dan para Rasul, Nabi serta para Wali atau
syeikh sufi adalah dokter jiwanya, karena ada berbagai jenis penyakit, maka
bangsal rumah sakitpun berbeda-beda. Ada klinik dimana pasien tak tinggal lama,
ada kamar dimana pasien tinggal hanya beberapa minggu, dimana ada kamar bedah
dimana para dokter atau syeikh sufi sibuk “mengoperasi” pasien-pasiennya. Kita
dapat pula obat-obat yang diresepkan sesuai dengan keperluan pasien, dengan
mempertimbangkan lingkungan seluruhnya dan semua keadaan sekitar.
Fungsi terakhir dari seorang guru sufi ialah memindahkan si pencari secara
berangsur-angsur, sesuai dengan kecepatan langkahnya, sampai ketingkat dimana
ia mampu membaca “kitab” yang ada di dalam hatinya. Apabila si pencari
mempelajari seni ini dan menjadi kuat serta bertindak sesuai dengan kehendak,
maka jelaslah ia sedang maju dan berkembang. Tujuan si syeikh ialah melepaskan
dan menyampaikan kepada orang lain apa yang telah dicapainya sendiri.
Proses ini, dinyatakan sebelumnya, dapat ditingkatkan apabila lingkkungan
maupun pendampingnya tepat, dan bilamana si murid berniat untuk belajar dan
berkemauan untuk bertindak dengan semestinya. Guru tidak bisa berbuat banyak
bila si pencari tidak ingin maju. Si penempuh jalan bisa menyerah pada suatu
tahap perjalanan, selangkah tinggal selangkah lagi. Namun kadang-kadang walaupun
si murid ingin ingin maju tidak ada jaminan bahwa tujuannya akan terpenuhi
sesuai dengan harapan. Syeikh Al-Faituri (1979) berkata sebagai berikut tentang
dilema guru dalam salah satu syairnya “ Betapapun besar si guru berusaha.
Betapapun besar si murid menghendaki. Betapapun khusu’nya dia (beribadah) siang
dan malam. Akhirnya pencerahan adalah anugerah Allah.
Tugas guru ialah membimbing si pencari sepanjang jalan yang sudah di
tertibkan sampai dititik mana ia mampu duduk dalam kejagaan mutlak tanpa menjaga
sesuatu. Ini puncak terakhir yang murni dan sederhana dari puncak meditasi
(Khalwat).
Sejak itu seterusnya hanya Allah yang dapat menolong dia. Jadi si pencari
harus melengkapi sendiri setengah lingkaran, tetapi setengah lingkaran lagi
tidak berada di daerah kekuasaannya. Anda naik setinggi anda dapat memanjat,
lalu beserah diri.
Menurut pengalaman para sufi, tingkat kemajuan sepanjang perjalanan
spiritual tidak menurut garis lurus. Makin banyak waktu yang anda curahkan
untuk memperaktekkan bahasa, makin cakap anda dalam berbahasa, karena hal itu
dapat diprogram sehingga dapat diukur dan oleh karena itu lebih mudah
diperoleh, disisi lain ilmu kebatinan dapat diukur tapi sukar untuk
mengukurnya.
Apabila seseorang sanggup melenyapkan sama sekali segala keterikatan
sekarang ini juga, kebangunan akan segera dicapai. Apabila tidak demikian, maka ia harus
melewati tumpukan disiplin, peringatan yang terus menerus dan penderitaan yang
tak henti-henti untuk sampai pada kesadaran yang sempurna. Kemajuan spiritual tidak
bisa diukur seperti mengukur usaha-usaha lain. Orang mungkin menghabiskan waktu
bertahun-tahun tanpa nampak terjadi sesuatu dan tiba-tiba saja dalam waktu dua
hari segala sesuatu terjadi.
Orang mungkin menghabiskan waktu bertahun-tahun mentaati gurunya dan merasa
bahwa tak terjadi banyak kemajuan, padahal dalam realitasnya mungkin amat
banyak “karat” spiritual telah disingkirkan dalam waktu itu. Seperti
menyingkirkan karat setebal beberapa inchi dan masih belum dapat melihat dasar
logam dibawahnya. Padahal logam itu mungkin tinggal satu mili meter karat lagi.
Kita tak mampu mengukur kemajuan spiritual secara lahiriah, karena ia berdasar
pada kesucian hati dan kemudian untuk menanggalkan keterikatan.
Itu tergantung pada derajat ketundukan si pencari kepada Nabi. Mula-mula ia
tunduk dengan menggunakan penalaran dan akalnya, dan dengan mempelajari seluruh
hubungan kausalitas. Kemudian kemajuan spiritual mengambil momentumnya sendiri.
Kemudian ketundukan yang sederhana membawanya pada ketundukan yang lebih manis,
dan lebih spontan tanpa mengandung keraguan. Sebelum keadaan ini tercapai, tak
banyak yang dapat terjadi. Jadi, waktu yang diperlukan untuk terjadinya
pembukaan-pembukaan tertentu tidak dapat diukur semudah itu. Hubungan yang
patut antara pencari dan guru spiritual diperlukan agar dapat dicapai kemajuan
yang berkelanjutan.
Murid terdekat syeikh sufi Imam Junaidi bernama Syibli. Imam Junaidi (910)
sangat mencintainya. Pernah dalam suatu pertemuan, salah satu anggotanya mulai
mengagumi dan memuji Syibli di hadapannya dan banyak orang lain. Imam Junaidi
menyela dan mulai menceritakan segala kesalahan dan kekurangan Syibli. Syibli
merasa malu dan diam-diam mengundurkan diri dari pertemuan itu. Ketika ia
pergi, Imam Junaidi berkata “ saya melindunginya dari perisai penghinaan dari
panah berbisa pujian yang berlebihan”. Karena Imam junaidi tahu kalau Syibli
hampir mencapai suatu maqam spiritual. Dan apabila pujian-pujian itu tidak
dipotong, mungkin akan melambungkan egonya dan menciptakan rintangan. Rintangan
terbesar terhadap kebangunan batin ialah menghargai diri sendiri.
Seluruh jalan hidup sufi berkisar pada menghilangkan keterikatan, dan
keterikatan yang terbesar dan terburuk kebetulan adalah ilmu pengetahuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar