MANUNGGALING
KAWULO GUSTI
HIDUP LAGI
Silogisme Buku : Ibnu Al-Arabi,
Wihdatul Wujud dalam perdebatan
Menelusuri pemikiran seorang filsuf
seakligus Sufi seperti halnya Ibnu Arabi, selalu dihadapkan pada sisi yang
problematis. Karena gagasan dan gaya bahasanya yang selalu memkikat,
mengasyikkan tapi sekaligus membingungkan, apalagi yang berkaitan dengan
otentitas Islam (Tauhid). Bagaikan seseorang yang memasuki hutan, ia akan
mendapatkan berbagai jenis pepohonan dengan kesegaran aroma bunga dan
pemandangan yang indah serta menimbulkan daya fantasi dan imajinasi, sehingga
orang terkesan diajak memasuki dunia metafisis, sebuah alam surgawi. Tapi,
bagaimanapun juga di dalam hutan yang indah itu orang sering merasa was-was
oleh kemungkinan selalu ada bahaya yang membuntutinya. Seperti sengatan
binatang berbisa, tersesat ataupun terperangkap dalam gelap ataupun bahaya yang
lain.
Konsep Wihdatul Wujud ini merupakan
konsep Tauhid yang sangat radikal. Paham kesatuan wujud, kira-kira adalah sebuah
pandangan yang menenkankan bahwa tidak ada wujud yang sejati dan mutlak yang
mencakup semua wujud kecuali Allah yang Maha Mutlak saja. Pemutlakan wujud
Allah sekaligus akan menenggelamkan wujud yang lain. Allah adalah Esa dalam
wujud, karena semua yang mungkin yang dapat dilihat dalam keadaan ini disifati
dengan ketiadaan semua yang mungkin itu tidak mempunyai wujud, meskipun tampak
bagi yang melihat.
Ide Ibnu Al-Araby yang telah
membangkitkan perdebatan panjang tak berkesudahan antara pembela dan penentangnya
yang paling terkesan adalah Doktrin Wihdat Al-Wujud. Persoalan inti yang
diperdebatkan disini adalah hubungan ontologis antara Tuhan dan Alam (Makhluq).
Problem dan analisa yang disajikan
oleh Al-Araby sesungguhnya merupakan tema abadi yang senantiasa aktual karena
berhadapan langsung dengan persoalan eksistensial dan hakikat makna dan tujuan
hidup itu sendiri. Konsep tauhid Wihdat Al-Wujud diantaranya akan selalu
menimbulkan pertanyaan tentang apa dan siapakah Wujud mutlak itu sendiri? Jika
wujud mutlak itu hanya Allah, sedangkan yang lain hanya relatif yang secara
ekstrim sesungguhnya wujud relatif itu hilang dihadapan yang mutlak, maka
dimanakah posisinya? Serta apakah arti wujud selain wujudnya?
Pertanyaan semacam ini akan dan
selalu menjadi agenda renungan serius bagi pencari makna hidup dari zaman ke
zaman. Karenanya ketika seseorang memasuki persoalan ini, sesungguhnya ia
sedang memasuki perburuan yang juga dimasuki oleh sekian banyak filosuf dan
mistikus yang datang dari berbagai macam kelompok sepanjang sejarah. Sehingga
tidak mengherankan bahwa persoalan yang terkandung dalam istilah-istilah
semacam Wihdat Al-Wujud, Panateisme, Manunggaling Kawulo Gusti dan lain-lain
telah banyak menimbulkan polemik yang berkepanjangan.
Karena ide yang dikemukakan
merupakan parannial question (pertanyaan yang abadi) yang
berkenanaan dengan kajian metafisis ontologis, maka posisi Ibnu Al-Araby tidak
populer, khususnya di mata ahli kalam dan fiqih. Lebih dari itu bahkan, Ibnu
Al-Araby dianggap telah menyebrang pagar alias murtad. Namun sementara
dikalangan para pengagumnya juga para sarjana non muslim, ia dilihat sebagai
filosuf yang mengundang kekaguman dan respek karena sumbangan intelektualnya
bahkan pengikutnya malah menyebutnya sebagai Syaikhul Akbar.
Tidaklah mengherankan jika Ibnu
Al-Araby dikatakan murtad dan sebagiany oleh golongan-golongan diatas, karena
memang ada pendapat yang menyatakan bahwa konsep tauhid yang dibawa oleh Ibnu
Al-Araby adalah Tauhid tingkat tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar