PANDANGAN SARJANA BARAT (ORIENTALIS)
TERHADAP HADITS
Oleh : Suyono
A.
Latar Belakang
Setiap zaman senantiasa muncul para pemikir
yang tertarik untuk meneliti Hadits. Ini dapat dilihat dari buku-buku ilmu
hadist yang banyak berkembang dewasa ini. Kajian terhadap hadist dalam
karya-karya itu, pada umumnya bersifat filosofis. Para penulis lebih banyak
membicarakan ‘apa yang seharusnya
disebut hadist’, bukan ‘apa yang senyatanya dari hadist itu?
Sementara kajian yang didasarkan pada
pendekatan ilmiah baru terjadi pada abad 19, yang dilakukan oleh orientalis.
Namun umumnya hasil studi mereka, khususnya terhadap hadist, kurang bisa
diterima oleh umat Islam. Karena mereka selain bukan Muslim, juga konklusi
mereka terhadap hadist Nabawi umunya negatif, sehingga menyentuh emosi umat
Islam, yang pada gilirinnya mendapat sanggahan negatif pula dari kalangan
penulis muslim, sehingga nilai-nilai ilmiah menjadi terabaikan.
Namun ada satu buku yang menyanggah pandangan
kaum orientalis terhadap hadist yang sarat dengan nilai-nilai ilmiah dan banyak
dipuji oleh banyak kalangan, baik muslim maupun non muslim, yaitu buku “
Studies in Early Hadith Literature”[1],
sebuah maha karya Muhammad Musthafa Azami, seorang cendikiawan muslim kelahiran
India pada tahun 1932. Ia adalah guru besar ilmu hadist di Universitas King
Saud Riyadh Saudi Arabia, yang lebih dikenal dengan M.M. Azami.
Kerangka pemikiran tersebut yang dibuat oleh
M.M. Azami, yang menempatkan bidang-bidang penelitian hadist seperti itu ke dalam
satu bidang penelitian hadist yang ia sebut serba klasik itu, di antaranya
terdorong oleh adanya gambaran negatif dari hasil penelitian orientalis
terhadap ajaran Islam, khususnya hadist Nabi. Walaupun ia sendiri mengakui ada
beberapa orientalis yang konsisten dan berpikiran jernih tentang Islam.
B. Pandangan
Orientalis Terhadap Hadist Nabi
Salah satu faktor yang mendorong perhatian
cukup serius terhadap penelitian hadist
adalah kebutuhan akan adanya sebuah metode yang secara sistematis dapat
memecahkan kesimpangsiuran mengenai hadist, terutama kesimpangsiuran tersebut
adalah sebagai akibat dari pengaruh pemikiran orientalis mengenai hadist itu.
Hal ini misalnya terlihat dalam periodesasi pandangan orientalis terhadap
hadist yang terdiri dari : masa Pra-Goldziher, masa Goldziher,c.s., dan masa
setelah Goldziher, yaitu setelah tahun 1890.
Pada masa awal (pra-Goldziher), disimpulkan
bahwa hadist bukanlah ucapan atau perbuatan yang sebenarnya dari Nabi Muhammad.
Konsekuensi dari anggapan ini adalah penolakan atas hadist sebagaimana
didefinisikan oleh ulama’ Muhadditsin, karena dipandang tidak pernah ada.
Menurut mereka, hadist adalah karya manusia belaka, yang tidak memiliki
kebenaran agama sama sekali[2].
Periode kedua tentang penelitian hadist yang
dilakukan oleh orientalis tercapai ketika Ignaz Goldziher menerbitkan karyanya,
Muhammedanische Studien. Disamping bukunya yang lain, Die Zahiriten,
karya tersebut adalah puncak tulisan-tulisan Goldziher. Titik tolak dari teori
Goldziher adalah rangkaian pendapat sebagai berikut:
1. Yang dapat dibenarkan berasal dari masa hidup
Muhammad SAW hanyalah Al-Qur’an. Yang lainnya termasuk hadist adalah ‘buatan’
kaum Muslimin dari abad 2 dan 3 H atau 7 dan 9 M.
2. Dasar dari anggapan tersebut adalah
“bukti-bukti” yang menunjukkan bahwa masyarakat Islam sebelum abad ke 2 dan 3
H,. adalah masyarakat yang belum memiliki kemampuan yang cukup untuk memahami
dogma-dogma keagamaan, memelihara ritus keagamaan dan mengembangkan doktrin
yang kompleks. Buta huruf masih merata, dan kebudayaan yang terpusat di
lingkungan istana raja-raja dan hanya berkembang dikota-kota besar, ternyata
masih bersifat lepas dari hubungan dengan agama. Dengan kata lain, kebudayaan
arab waktu itu masih bersifat sekuler. Keadaan ini berlangsung hingga akhir
pemerintahan dinasti Bani Umayyah di Damaskus, bahkan hingga pemerintahan
beberapa Khalifah Dinasti Abbasiyah di Baghdad.
3. Dasar lain dari adanya anggapan tersebut
adalah kelengkapan peninggalan tertulis yang nyata-nyata menunjukkan bahwa
hadist dipelihara dengan sadar secara tertulis “diturunkan” dari generasi ke
generasi, hingga sampai pada permulaan abad ke 2 Hijriyah, ketika Ibn Shihab
Al-Zuhri mulai menuliskan teks-teks hadist. Sejumlah kecil memang terpelihara
teksnya dengan penurunan lisan (Oral-Transmission) dari guru ke murid
secara berantai. Tetapi sebagian besar hadist yang terkumpul dalam corpus
hadist ternyata tidak dapat dipastikan benar-benar berasal dari Muhammad SAW.
Karena sulitnya mencari mana diantara sekian ratus ribu hadist yang benar-benar
berasal dari masa kehidupan beliau. dengan sendirinya secara keseluruhan harus
dinyatakan tidak berasal dari masa tersebut. Dengan demikian menurut Goldziher,
hadist sebagai ungkapan yang berasal dari Muhammad itu tidak dapat diterima
secara ilmiah. Yang dapat diterima hadist sebagai sunnah dalam pengertian
bahwasanya saja, yaitu sebagian jalan hidup yang harus dilalui seseorang atau
masyarakat. Jika corpus hadist diartikan sebagai pembentukan secara evolusioner
hukum, yang mengatur kehidupan kaum muslimin, tidak peduli yang berasal dari
masa kehidupan Muhammad SAW maupun jauh setelah itu, maka hadist memang ada. Tetapi
tidakkah dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, untuk menganggap hadist
secara keseluruhan berasal dari masa hidup Nabi Muhammad SAW[3].
Pandangan Goldziher tersebut sekaligus
mengubah konstelasi penelitian hadist di kalangan para orientalis, dan bahkan
hingga kalangan sebagian peneliti muslim sendiri. Usaha untuk meneliti hadist
metode tersebut, dilanjutkan oleh para orientalis lainnya, seperti Margoliouth,
Nicholson dan Snouck Hargronje[4].
Barulah pada tahun 1950 muncul karya baru yang
melanjutkan kerangka dasar penelitian Goldziher itu dalam sebuah bidang yang
sama sekali baru, yaitu karya orientalis Yahudi Joseph Schacht yang
berjudul The Origins Of Muhammedan Jurisprudence. Walaupun bersifat
melanjutkan penelitian Goldziher, Schacht berhasil mencapai hasil yang baru
dalam penelitian hadist.
Setelah beberapa tahun terbitnya The
Origins Of Muhammedan Jurisprudence[5],para
orientalis sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang berbeda dengan kesimpulan
Schacht. Bersimpang jalan di antara sesama orientalis mulai ditempuh oleh para
peneliti-peneliti seperti Montgomery Watt, Von Grunebaum, Arberry, Jeffry, dan
J. Robson yang menyanggah “Kebenaran Ilmiah” hasil-hasil yang dicapai oleh
Schacht dalam penelitian hadist. Mereka lebih menekankan kerja penelitian
mereka melalui pendekatan rasa dan menyelami apa yang menjadi latar belakang
sesuatu pendapat atau doktrin yang diterima oleh konsensus umat Islam, dan
bukan membuat hipotesis sendiri mengenai pendapat baru atau hipotesis tersebut.
Mereka lebih mementingkan pengenalan atas cara berfikir dan merasa yang dimilki
kaum muslimin, dari pada mencari kesimpulan yang “objektif” secara ilmiah
murni. Pendekatan baru ini, yang berlandaskan pada cara-cara psikologis dan
antropologis. Memang jauh berbeda dengan metode deduksi Goldziher yang
mengutamakan “objektivitas” ilmiah yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sikap
baru ini ditimbulkan oleh skeptimisme yang sehat terhadap orang-orang non muslim betapa ahli sekalipun, untuk
membuat analisis yang sepenuhnya tepat mengenai apa yang menjadi sebuah pikiran
dan perasaan kaum muslimin sendiri. Dari pada membuat deduksi yang mungkin salah
mengenai pemikiran kaum muslimin, lebih baik ditempuh cara yang lebih aman,
yaitu membiarkan orang Islam sendiri mengemukakan pendapat mereka[6].
Latar belakang pendekatan yang berbeda-beda di
antara sesama orientalis ini dalam menilai hadist penting dikemukakan di sini untuk
mengantar pembicaraan tentang sumbangan pemikiran M.M. Azami dalam penelitian
hadist. Ada dua hal penting dalam pemikiran tersebut:
1. Penelitian semua hipotesis orientalis, seperti
Goldziher dan Schacht, penelitian ini difokuskan pada sebab-sebab yang
melemahkan teori-teori mareka masing-masing.
2. Penelitian terhadap otentitas bahan-bahan
kesejarahan yang digunakan oleh para orientalis, seperti teks-teks yang masih
tersimpan dalam bentuk tulisan tangan, prasasti[7].
Kedua fokus dalam penelitian yang dilakukan
M.M. Azami diatas, secara langsung atau tidak sesungguhnya mementahkan
argumentasi kaum orientalis di atas mengenai hadist. Kritik terhadap teori
Schacht sesungguhnya telah dirintis melalui penelitian yang dilakukan oleh Nashir Al-Din Al-Asad, berhasil menyajikan
fakta-fakta dan dokumen mengenai perkembangan subur dari seni tulis menulis di
Jazirah arab, sesuatu yang tidak diakui adanya oleh Goldziher[8].
Dalam bukunya, Dirasat Islamiyah, Goldziher
menulis suatu pasal sekitar penulisan hadist. Dalam pasal itu, Ia mengemukakan
banyak bukti tentang pembukuan hadist pada awal abad ke-12 Hijriyah. Pada pasal
pertama Ia mengatakan “ Sekelompok ulama’ mengemukakan kabar-kabar yang
menunjukkan adanya sebagian shahifah-shahifah yang dibukukan pada masa
Rasulullah SAW, namun keberadaan shahifah-shahifah itu diragukan”.
Dengan pernyataan-pernyataan itu, Goldziher
ingin mencapai dua sasaran, Yaitu:
1. Menilai orang Tsiqah sebagai orang lemah
dengan mengatakan bahwa As-sunnah itu dihafal dan dipelihara dalam hati, sebab
sejak abad ke-2 Hijriyah manusia mengandalkan tulisan.
2. Menodai seluruh As-sunnah dengan menyatakan
bahwa As-Sunnah adalah buatan para ulama’ hanya menghimpun As-Sunnah yang
sesuai dengan selera mereka tentang kehidupan[9].
Orientalis Sowfaghy, didalam tulisannya al-Hadits
‘ind al-‘Arab menghimpun banyak bukti yang menunjukkan terjadinya pembukuan
hadist pada permulaan abad ke-2 Hijriyah, bukan pada masa Rasulullah SAW,. Pada
dasarnya tujuan Sowfaghy tidak berbeda sedikitpun dengan tujuan Goldziher[10].
Dr. Shubhi Ash-Shalih berkata “ Adapun Dawzy,
seorang orientalis, dengan pendapatnya yang moderat, hendak mengelabui ulama’
kita, terlebih pada siswa tingkat lanjutan. Orientalis ini meyakini kebenaran
sebagian besar Sunnah Nabi SAW. Yang dihafalkan dalam hati dan dibukukan di
dalam kitab dengan sangat teliti. Ia tidak heran terhadap keberadaan
hadits-hadits palsu dan pendustaan hadits (atas nama Rasulullah SAW).
Dengan demikian, tujuan Dawzy dengan mengakui
kesahihan sebagian besar As-Sunnah dalam kajiannya itu tidaklah demi ilmu an
sich. Dari awal sampai akhir, ia hanya berfikir tentang kandungan As-Sunnah
yang sahih berupa pandangan tentang alam semesta, kehidupan dan manusia. Pandangan-pandangan
yang independen ini menjadikannya tetap bertahan menghadapi kritik karena pandangan-pandangan
itu tidak bersumber dari logika barat dan tidak menggambarkan kehidupan barat
yang bebas dari ikatan apapun.
Orientalis Syibranger menemukan kitab
Taqyidul-‘Ilm karya al-Khatib al-Baghdadi. Di dalam kitab ini, ia menemukan
bukti-bukti dan kabar yang menunjukkan telah berlangsungnya pembukuan hadist
pada masa Rasulullah, Sahabat dan Tabi’in. Kemudian ia menulis artikel tentang
penemuannya[11].
Goldziher mendukung apa yang ditulis oleh
pendahulunya, Syibranger, dan memperkuat pemikiran tentang berlangsungnya
penulisan hadist oleh kaum muslimin pada masa Rasulullah, sahabat, tabi’in. Hanya
saja, ia masih meragukan kabar-kabar yang dikemukakan oleh Syibranger yang
dinukil dari al-Khatib al-baghdadi dan lain-lain.
Goldziher memberikan penilaian negatif
terhadap kabar-kabar itu. Ia mencari celah-celah dalam kabar itu untuk membuat
lacur. Ia menggambarkan seolah-olah kabar-kabar itu mencerminkan adanya dua
kelompok (ulama) yang saling bersaing. Goldziher berkata” Ahlul-ra’yi, yaitu
kelompok yang mengandalkan rasio dalam
merumuskan furu’ syariat Islam dengan mengabaikan hadist Rasulullah SAW. Antara lain berhujjah bahwa hadits itu tidak
ditulis dalam waktu yang lama sehingga hilanglah keasliannya dan tercecer di
berbagai tempat. Lawan mereka yaitu,
kelompok Ahlul Hadist, tidak tinggal diam. Mereka melakukan seperti apa yang
dilakukan oleh Ahlul-ra’yi; membuat kabar-kabar untuk memperkuat pendapat
mereka dan menyandarkan hadist-hadist (yang membolehkan penulisan hadist)
kepada Rasulullah SAW[12].
Demikianlah, Goldziher berpendapat bahwa
ahlul-ra’yi mengklaim bahwa hadist itu tidak boleh ditulis, kemudian mereka
membuat kabar-kabar untuk mengesahkan klaim mereka. Sedangkan, ahlul hadist
berpendapat penulisan ilmu diperbolehkan, kemudian merekapun membuat kabar-kabar
untuk mengesahkan klaim mereka itu. Goldziher menggambarkan seolah-olah ulama’
dan para pemikir umat Islam terpecah menjadi dua kelompok, yang masing-masing
bersikap fanatik terhadap pendapatnya.
Dr. al-‘Isy berkata” Perbedaan pendapat yang terjadi
bukanlah antara dua kelompok ulama’. Sebab, di antara ahlul ra’yi ada yang
menolak penulisan hadist, misalnya ‘Isa bin Yunus, Hamad bin Zaid, Abdullah bin
Idris dan sufyan ats-Tsauri. Namun disamping itu ada pula yang
memperbolehkannya, seperti Hamad bin Salamah,al-Laits bin Sa’d, Zaidah bin
Qudamah dan yahya bin al-Yaman. Demikian pula di antara ulama’ ahlul hadist ada
yang tidak membolehkan penulisan hadist seperti Ibnu Ulyah, Hasyim bin Basyir
dan Ashim bin Dhamrah. Selain itu, ada yang membolehkannya, seperti Baqiyyah
al-Kala’i, Ikrimah bin Amar dan Malik bin Anas[13].
Dengan fakta-fakta kuat diatas, Dr. al-‘Isy
membuktikan kesalahan pendapat Goldziher dan merobohkan gambaran keliru yang
menjadi dasar pendapatnya. Ia menjelaskan bahwa dua kelompok itu bukan
merupakan dua partai yang individu-individu pendukungnya siap bertempur
menghadapi lawan partai. Sesungguhnya mereka hanya berpegang pada pendapat
tentang keyakinan jiwa, kecenderungan pribadi, kegemaran tertentu, atau adat
istiadat. Menurut Dr. al-‘Isy, dua kelompok yang bertentangan itu pada dasarnya
mempunyai tujuan akhir yang sama sekalipun mereka berselisih pendapat[14].
C. Kritik M.M. Azami terhadap Orientalis
M.M.Azami melakukan kritiknya pada pandangan
para orientalis terhadap Hadist Nabawi dengan cara sebagai berikut:
1. Meneliti tuduhan Goldziher c.s., bahwa hadist hanya
sedikit yang terpelihara karena hadist diturunkan secara lisan dari generasi ke
generasi umat selama abad pertama Hijriyah. Penelitian M.M. Azami membuktikan:
a) Hadist diturunkan tidak hanya dengan cara
lisan belaka. Ia menunjang pembuktian
ini dengan menerbitkan tiga buah corpus hadist yang di editnya sendiri dalam
disertasinya; yaitu naskah-naskah Suhail Ibn Abi Shalih, Ubaidillah Ibn Umar,
dan Ali al-Yaman al-Hakam, yang kesemuanya berasal dari abad pertama Hijriyah.
Dengan demikian tuduhan bahwa hadist
mudah dipalsukan dan tidak dapat diimbangi oleh makna yang otentik dan
buatan, menjadi tidak terbukti lagi[15].
b) Penelitian atas istilah-istilah yang digunakan
dalam referensi hadist menunjukkan, bahwa berita yang menyatakan Ibn Shihab
al-Zuhri adalah orang pertama yang menuliskan hadist pada permulaan abad ke 2
Hijriyah (awalu man dawwana al-alima) mengandung arti lain dari pada
yang diduga dan diterima secara umum selama ini[16].
Azami membuktikan, bahwa al-Zuhri adalah pengumpul belaka dari semua koleksi
naskah-naskah hadist yang telah dibukukan selama setengah abad sebelumnya.
Demikian pula, istilah-istilah yang selama ini hanya dianggap memiliki konotasi
transmisi hadist secara lisan, oleh M.M. Azami dianggap memiliki juga arti
tulisan dan tertulis. Beliau mendasarkan anggapannya ini adalah dari segi
pembuktian bahasa dan bukti-bukti tertulis sejarah atas istilah-istilah,
seperti : Haddatsana, Akhbarana, Sami’na dan sebagainya[17].
c) Pembuktian tentang kesalahan dalam memahami
hadist-hadist yang melarang penulisan hadist oleh Nabi Muhammad, sebagaimana
dikemukakan secara gencar oleh Imam al-Qahir al-Baghdadi dalam karyanya, Taqyid
al-‘Ilm[18].
Azami membuktikan, bahwa hanya ada satu saja hadist yang otentik yang
berhubungan dengan penulisan hadist, yang memiliki sanad yang dha’if. Adapun
hadist yang satu-satunya tidak melarang penulisan hadist secara umum, melainkan
larangan menuliskan hadist dalam carik kertas, kain, muka tulang, atau pelapah
kurma yang telah berisikan ayat-ayat Al-Qur’an, guna menghindarkan kekeliruan
dalam pemeliharaan al-Qur’an setelah Nabi wafat nantinya. Pembuktian dilakukan
atas kenyataan, bahwa penulisan hadist adalah kejadian yang normal di masa
kehidupan beliau, terlebih-lebih setelah berakhirnya pemerintahan para Khulafa
al-Rasyidin pada akhir paruh pertama Hijriyah[19].
3. Disamping pembuktian atas kepalsuan tuduhan
bahwa hadist tidak terpelihara dengan baik karena diturunkan secara lisan dari
genersi ke generasi, M.M. Azami juga meragukan argumentasi yang diajukan baik
oleh Goldziher c.s. dan Schacht, antara lain melalui cara-cara berikut:
a) Goldziher senantiasa menggunakan suatu
kejadian individual yang bersifat khusus dan terbatas untuk menjadi bukti bagi
hal-hal umum yang disinyalirnya, seperti wasiat Muawiyah kepada salah seorang
pengikutnya: “jangan ragu-ragu untuk memaki-maki Ali dan menyumpahinya, dan
perbanyaklah memintakan ampunan Tuhan bagi Ustman”. Wasiat ini oleh
Goldziher dijadikan bukti bagi kebiasaan pembesar-pembesar Dinasti Ummayah
untuk memasukkan bias politik kedalam pemberitaan mereka, dan karenanya pemberitaan
dari mereka tidak dapat diterima kebenarannya. Goldziher tidak membatasi
pemberitaan hal-hal yang bersifat politis belaka, melainkan juga mengenai
periwayatan hadist dari mereka. Hal ini secara ilmiah sebenarnya tidak boleh
dilakukan.
b) Goldziher dan Schacht seringkali tidal
melakukan penelitian ulang yang mendalam atas bahan-bahan kesejarahan yang
mereka pakai dalam pembuktian, sehingga terjadi bahwa bahan-bahan tersebut
sebenarnya justru melemahkan argumentasi mereka sendiri. Untuk sinyalemennya
ini, Azami mengemukakan beberapa puluh contoh yang diambilnya dari karya-karya
Goldziher dan Schacht.
c) Para orientalis, tidak terkecuali Schacht
sendiri yang dikenal sebagai peneliti yang memiliki objektivitas yang diakui,
sering menutupi bahan-bahan kesejarahan yang bertentangan dengan pembuktian
yang sedang mereka kemukakan, dan hanya menggunakan bahan-bahan yang memperkuat
teori-teori mereka belaka. Juga untuk diambil contoh-contoh cukup banyak dari
karya-karya Schacht yang telah disebut diatas.
d) Seringnya Schacht, terlebih-lebih Goldziher,
salah mengartikan ucapan-ucapan atau kejadian-kejadian yang diberitakan dalam
sumber-sumber kesejarahan. Contohnya adalah ucapan Amir Ibn Sha’bu : “ Aku
tak pernah menulis dengan ( tinta)hitam di atas (permukaan kertas)putih atau
meminta seseorang untuk mengulangi sebuah hadist sampai dua kali”. Ucapan
ini tidak ada hubungannya dengan larangan menuliskan hadist, melainkan hanya
untuk menunjukkan kekuatan hafalan Amir saja. Walaupun demikian, Schacht
menggunakannya sebagai dalil pembuktian, bahwa pada abad pertama Hijriyah kaum
Muslimin dilarang menuliskan hadist.
D. Kesimpulan
Demikian pandangan-pandangan orientalis terhadap hadist Nabi, tentang kedudukan
hadist dan asal-usulnya. Sehingga pandangan Goldziher tersebut mengubah konstelasi
penelitian hadist dikalangan orientalis, dan bahkan hingga kalangan sebagian
peneliti Muslim sendiri.
Dan yang terpenting dalam cara-cara pembuktian
yang dilakukan oleh M.M. Azami dalam meng-counter pandangan orientalis
tersebut ini adalah dengan kepala dingin yang ditunjang oleh dasar-dasar ilmiah
yang objektif, dan jauh dari sifat polemistis. Karenanya, hasil karyanyapun
bernilai monumental dan meyakinkan.
DAFTAR PUSTAKA*
Azami, Muhammad Musthafa; Hadis Nabawi dan
Sejarah Kodifikasinya,terj. H. Ali Mustafa Ya’qub, Jakarta: Pustaka
Firdaus, tahun 1994.
; Metode Kritik Hadits, alih bahasa oleh A. Yamin,
Pustaka Hidayah, Jakarta 1992.
Ash-Shiddiqiey,T.M. Hasbi; Pokok-Pokok Ilmu
Dirayah Hadits, Jakarta : Bulan Bintang. 1981
; Sejarah dan Pengantar ilmu Hadits,Jakarta Bulan
Bintang: 1965
; Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang :
PT. Pustaka Rizki Putra. 1999
Khaeruman Badri; Otentitas Hadis Studi
kritis atas kajian hadist kontemporer,Remaja Rosdakarya : Bandung, 2004.
Abd. al-Majid al-Najjar ;Pemahaman Islam antara Ra’yu dan Wahyu,1997. Remaja
Rosdakarya : Bandung , 1997
al-Isy,Yusuf; Nasyatu Tadwinil “ilm fi
al-Islam (majalah ats-Tsaqofatul Mishriyah, edisi Ke-351
*Tidak semua buku yang dijadikan rujukan dapat
dikemukakan disini. Karena penulis tidak mengutipnya secara langsung dari
sumber aslinya, dan memandang cukup menjelaskannya hanya dalam catatan kaki
saja.
[1] Pada tahun 1986, diterjemahkan
kedalam bahasa indonesia oleh Endang Nurjaman dan H. Endang Soetari,Ad namun
tidak diterbitkan. Pada tahun 1994, diterjemahkan pula oleh Ali Musthafa Ya’qub
yang diberi judul “Hadist Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya”.
[3] Prof.Dr. Muhammad Musthafa Azami;
Dirasah Hadis An-Nabawi(Hadist Nabawi dan sejarah kodifikasinya)
[6] Prof.Dr. Muhammad Musthafa Azami;
Metode Kritik Hadits,alih bahasa oleh A. Yamin, Pustaka Hidayah,Jakarta. 1992
[7] Prof.Dr. Muhammad Musthafa Azami;
Dirasah Hadis An-Nabawi(Hadist Nabawi dan sejarah kodifikasinya)
[12] Dr.
Yusuf al-Isy,; Nasyatu Tadwinil “ilm fi al-Islam (majalah ats-Tsaqofatul
Mishriyah,edisi Ke-351 hal.22-23)
[16] Prof.Dr.
Muhammad Musthafa Azami; Dirasah Hadis An-Nabawi(Hadist Nabawi dan sejarah
kodifikasinya)
[18] Prof.Dr.
Muhammad Musthafa Azami; Dirasah Hadis An-Nabawi(Hadist Nabawi dan sejarah
kodifikasinya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar